"Kenalin gue Putra." Ucap Putra singkat serambi mengulur tangannya ke Ica.
Ica tidak membalas uluran tangan Putra. Dia masih saja memandangi Putra tanpa berkedip.
"Woy! Diajak salaman juga!" Putra sedikit mengeraskan suaranya.
"Eh." Ica tersentak.
"Emm, anu." Ica bingung. Dia berusaha sekuat tenaga mencari alasan agar tak terlihat salah tingkah.
"Emm, kan tangan gue kotor. Masa mau salaman sih?"
Putra tersenyum.
Lalu meraih tangan Ica dan menjabatkannya dengan tangan dia sendiri. Jantung Ica udah mau copot aja rasanya.
'Siapapun tolongin gue pliss!!' batin Ica.
"Gue Putra, lu Alisya kan?"
"Kok lu tau nama gue?"
"Tuh nametag lu."
"Oh iya, hehe. Tapi manggilnya Ica aja. Kalo Alisya aneh gitu didengernya." Ini Ica ngomongnya sambil nahan gugup loh ya.
"Ok deh. Btw, lu ada seragam di loker kan?" tanya Putra. Ica mengangguk.
"Buruan gih ganti, gue anterin."
~¤~
"Makasih loh Kak, udah nganterin gue ganti plus nganterin gue ke kelas. Sebenernya sih gak dianterin juga gapapa." ucap Ica kepada Putra yang ternyata adalah kakak kelasnya.
"Nanti kalo lu sendirian ada yang mbully lagi gimana? Kan berabeh!"
"Tapikan.."
"Udah gak usah bawel, cepet sono masuk kelas. Nanti gurunya masuk duluan mampus lu." Putra memotong ucapan Ica. Ica hanya tersenyum, lalu beranjak pergi meninggalkan Putra.
"Eh, bentar!" Ica menoleh, mengangkat kedua alisnya seakan bertanya 'apa lagi?'
Putra mendekat.
"Lain kali kalo ada yang mbully lagi, lu harus berani nglawan! Jangan kayak tadi, keliatan lemah." bisik Putra di telinga Ica. Kata-katanya memberikan energi semangat pada tubuh Ica. Seperti hape yang baru saja dicharge full.
Ica menunjukan dua jempolnya -jempol tangan ya, bukan jempol kaki- seraya tersenyum.
Lucu. Satu kata yang sekarang tercetak di hati Putra. Mendefinisikan orang yang sedang berada di depannya.
Hingga iapun tersadar.
'Type gue kok gini amat?'
Ica pergi menuju kelas -bukan bukan, bukan kelas inimah. Kelas bagi mereka yang holkay, neraka bagi mereka yang miskin- dan meninggalkan Putra yang sedang melambai-lambaikan tangan kanan tanpa menghilangkan senyuman manis di bibirnya.
Begitu masuk ke kelas, senyuman Ica pudar. Ica diberi pemandangan yang terlalu amat sangat tidak mengenakkan sekali.
Lami dan Erika yang duduk di barisan depan, menatapnya dengan sinis. Tak hanya mereka, Ardi dan Suren pun demikian. Tatapan mereka seperti seorang psikopat yang ingin membunuh targetnya.
"Punya nyali juga upil anoa masuk kelas." seperti biasa, seisi kelas tentu saja tertawa. Hanya kali ini bukan Suren yang membuat mereka tertawa. Melainkan orang yang tadi menyeret Ica ke lobbi depan. Siapa lagi kalo bukan Ardi.

KAMU SEDANG MEMBACA
[hiatus] Bully | Park Sungwon
Teen Fiction✏You are my sun, my moon, and all my star's