Berapa hari telah berlalu?
Pemuda bertubuh mungil itu mengeleng. Tangannya saling meremas dengan gusar.
Kihyun seharusnya sudah bisa menarik napas dengan lega. Hari-hari berat itu telah berbulan-bulan lalu. Mereka kini hanya berenam. Mengisi kekosongan yang tidak bisa mereka penuhi. Kehilangan memang bukan hal yang sepele, tidak sama sekali. Dia tahu rasanya kehilangan dan membawa beban di atas pundak yang terus bertambah setiap detik.
Mata pemuda itu melirik ke ruang tengah. Jooheon duduk di sana. Pemuda itu akhirnya kembali setelah sekian bulan menghilang dan menyembuhkan diri dengan cara yang membuat Kihyun menangis dalam diam. Jooheon terlihat tidak bahagia, kadang kala melirik tidak tentu arah, kadang bergumam mencari Wine. Ya, dia tahu pemuda itu terbiasa melarikan diri pada Wine.
Kihyun menghela napas berat. Dia mengangkat gelas ke ujung bibir dan menuang isinya untuk membasahi tenggorokan.
Kihyun tahu tidak ada yang benar-benar kembali bagus setelah rusak. Begitu juga grup mereka. Dia sangat tahu masih ada lirikan saling menyalahkan ketika tiba-tiba termenung oleh masa lalu. Pada Maknae mereka. Changkyun, pemuda yang masih Kihyun rindukan hingga hari ini dan hari-hari yang akan datang.
Dia ingat senyum kecil Changkyun di setiap kegiatan yang mereka ambil. Kadang kala memilih tidak bicara sama sekali dan menerima apapun yang dia letakkan di piringnya tanpa protes. Kihyun menarik napas setelah lama terdiam.
Ruang makan memang sepi, jam makan malam sudah berakhir. Dia harusnya kembali ke ruang tengah dan bergabung dengan empat orang yang sibuk dengan TV. Tapi Kihyun tidak ingin ke sana. Memang bukan Minhyuk yang salah. Tapi setiap kali luka itu terasa perih, yang bisa Kihyun lakukan adalah mencari siapa yang pantas disalahkan.
Seperti saat ini. Ketika dia sangat merindukan Changkyun. Saat dia merasa sangat bersalah telah melukai pemuda itu, tapi tidak bisa mengucapkan kata maaf. Karena Changkyun tidak bisa mendengarnya lagi.
Changkyun sudah mati.
Kihyun menjatuhkan kepalanya di atas meja. Menangis tanpa suara, dan dia pastikan tidak ada yang tahu.
"Ki," suara yang membisikan namanya menggelitik telinga Kihyun.
Jika dia ketahuan menangis, orang itu hanya satu. Hanya Shownu yang tahu dia menangis. Yang lain pasti mengira dia tidur, dan tidak ada yang mau mengganggunya selain manusia satu ini. Yang dengan lancang melihat Kihyun menangis. Dan dengan tidak tahu malu Kihyun justru melempar dirinya sendiri pada bahu Shownu dan menangis lebih keras.
"Kihyun!"
"Siapa yang salah?" suara Kihyun begitu kecil. Sedetik kemudian dia sangat menyesal untuk bertanya.
Matanya menatap wajah Shownu yang diam. Pria tertua di groupnya itu menatap jauh. Dalam pantulan matanya, Kihyun tahu pria itu tengah melempar pandangannya secara acak. Wastafel yang masih penuh dengan piring. Air yang mendidih. Dinding dapur dengan cat coklat. Semuanya, dan Kihyun tahu mata itu tengah mencari-cari. Sama terluka seperti yang lain. Kihyun menyesal bertanya, karena pria di depannya ini jelas yang paling merasa bersalah, dan paling pantas di salahkan.
"Bukan ... bukah kamu," Kihyun menelah kata-katanya kembali ketika Shownu memfokuskan matanya pada wajah Kihyun yang masih merah dan penuh dengan air mata.
Kihyun tidak tahu apa yang dipikirkan pria itu, tidak tahu.
Shownu kemudian bangkit. Dengan perlahan tidak ingin menyakiti Kihyun yang masih berusaha menahannya.
"Aku perlu udara segar," ujarnya.
Sungguh, senyum kecil di bibir Shownu membunuh Kihyun dengan rasa bersalah. Pria itu lalu pergi meninggalkan Kihyun yang kembali menunduk dengan air mata dan isakan pelan. Ada banyak mata yang menatapnya malam ini. Tapi Kihyun tidak peduli.
"Akulah yang salah."
--
Jooheon tahu alasan kenapa Kihyun menangis. Semua tahu apa alasan jika salah satu menangis. Jooheon menyandarkan punggungnya, sepenuhnya kehilangan minat pada apapun yang dia lihat. Pemuda itu mengusap dahinya, demi apapun dia ingin kembali ke apartementanya. Minum bergelas atau bahkan berbotol-botl Wine untuk kembali tidur. Berbicara dengan Changkyun dan menganggap semua ilusi itu nyata dan menyakinkan dirinya sendiri bahwa dia baik-baik saja.
Demi apapun Jooheon ingin kembali. Dia telah berbulan-bulan melakukannya dan setidaknya dia tidak perlu mati dengan sesak napas karena menyesal.
Pemuda itu bergerak gelisah dan memutuskan masuk ke dalam kamar yang dulu menjadi miliknya. Daun pintu terbuka, pemandangan di depannya membuat Jooheon menahan napas.
Dia mengenal baik surai merah muda itu. Dia sangat mengenal bahu sempit yang terbalut pakaian tipis itu. Jooheon sangat tahu. Seketika rasa sakit dan menyesalan melahapnya. Dia tidak tahu siapa yang paling salah, dan memang tidak ada gunanya mencari. Semua perasaan ini membutuhkan pelampiasan, dan masing-masing di antara mereka tidak tahu caranya.
Jooheon ragu-ragu melangkahkan kakinya masuk. Sosok itu berbalik. Jooheon tersedak napasnya sendiri ketika melihat wajah salah satu hyungnya. Lagi kenyataan membuatnya sakit.
Minhyuk jelas bukan orang yang selama ini Jooheon kenal. Pemuda itu tidak pernah terdiam cukup lama. Tapi, sekarang Minhyuk bahkan menolak untuk bersuara. Dalam matanya Jooheon tahu Minhyuk menginginkan sesuatu, tapi mata itu juga memancarkan keputus asaan yang sangat jelas.
Minhyuk jelas lebih merasa bersalah lebih dari Jooheon. Karena dia di sana. Menyaksikan Changkyun terluka. Terdiam tidak berdaya. Tidak bisa menolong.
"Hyung!" Jooheon memanggil pelan.
Tidak ada jawaban. Hanya senyum kecil yang dipaksakan.
"Kau kembali," Minhyuk bersuara lemah.
Jooheon mendekat dan duduk di samping Minhyuk. Mereka saling diam untuk waktu yang sangat lama. Sama-sama merasa ragu.
"Mianne, hyung."
Dahi Minhyuk berkerut samar menatap Jooheon yang menunduk di depannya.
"Kenapa?"
"Aku menempatkan hyung sebagai seorang penjahat."
Minhyuk tersenyum lalu menarik pemuda di hadapannya dengan lembut.
"Jangan pergi lagi," Minhyuk menjeda kalimatnya dengan tarikan napas berat. "Aku sudah kehilangan Changkyun dengan cara yang menyakitkan. Aku tidak ingin kehilangan kau juga," Minhyuk menyambung sambil mengusap bahu Jooheon yang bergetar seiring isak tangisnya yang mulai terdengar.
"Kita tidak perlu merasa bersalah untuk meledaknya sebuah bintang, Jooheon."
"Karena kita adalah bintang yang juga akan meledak," Minhyuk menundukkan kepala. Mencium rambut Jooheon seperti yang dia lakukan pada Changkyun terakhir kali.
Minhyuk tersenyum, "Aku juga akan meledak seperti itu."
Hanya terdengar isakan pelan. Minhyuk menatap jauh keluar kamarnya. Pada kegelapan di luar sana. Pada gerak daun yang pasrah oleh angin. Changkyun tidak ada di sana, mungkin telah kembali dan tidak akan menemui Minhyuk lagi. Walaupun sebenarnya Minhyuk tahu apa yang dia yakini hanya bayangan dari rasa bersalahnya saja.
Sudah berapa bulan dia bertahan? dan sepenuhnya, Minhyuk tidak yakin dirinya bisa bertahan lebih lama lagi. Anggap saja hari yang berlalu adalah keberuntungan.
.
.
.
.
LM
