"Lalu bagaimana kalo kita mulai bermain games?" ujar seorang host pada acara tersebut.
"Games?" sahut Eveline dan Danny bersamaan.
"Tentu, kali ini kita akan bermain.." sengaja menjeda, "wahh," lanjutnya dengan ekspresi kaget.
"Wae, wae ? Waeyo ?" tanya Eveline penasaran. Sedangkan Danny hanya memiringkan kepala.
"Games ini adalah games yang membuat hati bergetar,"
Eveline menatap co-host itu bingung. "Apa maksudnya? Kenapa?"
"Games ini, waaahh," masih dengan keterkejutannya yang di lebih-lebihkan.
"Tunggu, dari tadi kau hanya berkata wahh-wahh-wahh, apakah itu game nya?" sontak ujaran Danny membuat orang disekitarnya tertawa, tak terkecuali Eveline. "Dari tadi kau hanya, wahh-wahh-waah," memperagakan ulang saat co-host bicara, "itukah game nya? Aku benar bukan?"
"Haha, kau pandai menirukan gerakan. Tapi bukan itu, bukan, bukan itu."
"Ani?"
"Ne, games kali ini adalaaah..." semua tidak sabar apa yang akan digumamkan host tersebut, "Pepero games,"
"Aaaaakkh," kata Eveline sedikit menjambak rambutnya. Ekspresinya membuat Danny tanpa sengaja mengalihkan pandangan darinya.
"Jamkkanman, kau tak suka games ini? Hatimu akan dag dig dug nanti," ujar host nya. Eveline tetap memposisikan dirinya seperti tadi, memegangi kepalanya.
"Wahh, itu games yang sangat sulit." ujarnya.
"Tunggu, kenapa? Kau tak mau punya kesempatan menciumku?" pertanyaan Danny membuat seisi ruangan tepuk tangan dan tertawa. Eveline hanya meringis menanggapinya.
"Lihatlah Danny, dia sudah mulai berani dengan lawan mainnya. Sepertinya kau orang yang tidak sabaran,"
Danny tertawa dan memandang Eveline jenaka. Sedangkan Eveline ikut tertawa tanpa suara, dia harus sebisa mungkin untuk tetap normal.
"Baiklah, saat nya Pepero Games," seru semua orng di variety show itu. "Nah Eveline, seperti yang kau lihat di episode sebelumnya, games ini berpasangan dan pasanganmu adalah Danny. Dan penantangnya adalah dari tim GGBoy (sebutan tim yang berisi anggota host)."
"Dan ini adalah pertama kalinya aku mencoba games ini," ujar Danny perlahan di sisi telingan Eveline.
Hal tersebut mendapat perhatian dari Eveline. Menatapnya seolah tak percaya, tapi kenapa hal seperti ini harus dipertanyakan? Toh, semua hal bisa menjadi sesuatu yang pertama dalam hidup.
"Aku tidak yakin, sungguh. Maksudku, aku bersama Danny-ssi?"
Tanpa persetujuan Eveline, Danny menggenggam pelan tangan Eveline. Bahkan Danny tidak peduli ada puluhan pasang kamera menangkapnya. "Aku tidak akan macam-macam, bersikaplah seperti seharusnya, dan kita akan membahasnya di belakang."
"Kalian bersedia pasangan baru tahun ini?" Danny mengangguk mantap, kemudian di susul anggukan Eveline.
Eveline sedikit menegang. Dia tidak tahu kenapa, tetapi tidak biasanya ia merasakan hal seperti ini diantara puluhan lelaki yang dipasangkan bersamanya di layar TV.
Danny tersenyum tipis yang bisa ditangkap Eveline dengan artian "semua akan baik-baik saja." Ya, hanya kalimat itu yang Eveline butuhkan sekarang. Dan rasanya, ia harus percaya pada Danny akan hal ini. Sekali saja."Gigit saja sependek yang kau bisa, sisanya biar aku yang melanjutkan,"
❇
"Apa kau bodoh? Apa kau membiarkannya melakukan itu? Sungguh Noona, terkadang kau membuatku jengkel melebihi Ayahku." ujar Nam Jun-Ho kesal. Bahkan saking kesalnya, ia sanggup mematahkan stik billiard ditangan kirinya.
"Junho-ssi, apakah kau lupa? Apa pura-pura lupa sehingga tidak peduli apapun? Kau yang bodoh. Kau tahu dia akan tetap memilih lelaki lain ketimbang kau, dan kau tau itu sesuatu yang mutlak. Apa itu sesuatu yang akan terus kau kejar?" balas perempuan yang barusan Junho panggil Noona tidak kalah emosinya.
"Biarkan dia, dia pantas untuk terus memilih dan mempertahankan yang dia punya. Dan kau.." tunjuknya menahan amarah, "Kau yang seharusnya mundur atau aku sendiri yang akan mengungkitnya secara perlahan."
Kalah. Telak. Nam Jun-Ho lelah mempermasalahkan sesuatu dengan kakak perempuannya. Apa yang sepenuhnya diujarkan kakaknya adalah benar, hanya saja Junho terlalu takut untuk mengakui. Dan dia benci untuk tidak memiliki apa yang ia perjuangangkan dalam hidupnya. Nam Jun-Ho benci ada orang lain yang tahu kelemahannya.
❇
"Kau sudah selesai, Eveline-ssi?" Mata Eveline membelalak kaget. Sejak kapan lelaki itu ada di sini? Batinnya.
"Aku? Ne. Wae geulae?
"Aku sudah bicara padamu tadi sebelum bermain pepero. Apa kau lupa? Ah, apa kau sengaja pura-pura lupa supaya aku terus mengajakmu bicara. Begitu?"
Sial. Nada menggoda Danny membuat pipi Eveline merona. "Apa? Apa yang kau bicarakan. Aku hendak bertanya kenapa kau bicara denganku, kau yang salah paham."
Danny hanya tertawa seraya mengangguk-angguk kan kepalanya. Kemudian menoleh melihat Eveline memajukan bibirnya. "Kau tidak keberatan bukan untuk pulang bersamaku?" tawar Danny.
"Ah, kau ingin mengajakku pulang bersama. Tapi maaf, sepertinya aku tidak bisa, Danny Kim."
Danny Kim. Danny suka saat Eveline menyebut namanya. Itu seperti bunga sakura yang bermekaran di musim semi. "Kalau begitu, kau tak keberatan jika aku meminta nomor ponselmu bukan?"
Danny bisa melihat raut kebingungan di wajah Eveline, tapi segera ia menambahkan kalimat lainnya. "Kau jangan salah paham, aku tentu harus terus menghubungimu bukan untuk project di masa yang akan datang?"
Eveline terlihat mendesah, tetapi sesaat kemudian tersenyum dan mengeja nomor teleponnya kepada Danny. "Sudah,"
"Ne, ne. Oh ya, kau jangan kaget jika aku tidak akan berbicara formal padamu, baiklah. Sampai bertemu lagi Eveline-ssi,"
Apa? Apa yang lelaki itu bilang. Bicara formal? Ah, bahkan wanita itu saja baru tahu kalu sejak tadi lelaki itu berbicara padanya layaknya teman sepermainan. Toh, itu bukan masalah bagi Eveline.
Drrrt... Drrrt...
"Oh, Junho Oppa, aku lupa memberitahunya," Eveline melangkah keluar dari ruang rias dan mengangkat telfon yang belum lama berdering.
❇
"Eveline-ssi," panggilnya.
Gadis itu menoleh dan tersenyum menampilkan lesung pada kedua pipinya. Sangat manis.
"Ah, Oppa? Museun-ilya?" jawab Eveline kemudian.
Junho hanya tersenyum dan mengangkat sebelah tangannya yang membawa tas berwarna hitam. Tidak salah lagi, tas itu adalah tas berisi gitar kesayangan Junho.
"Aku membawa gitar untukmu, aku sangat peka buka?"
Eveline terkekeh dan mengangguk. "Ya, ya. Kau benar, Oppa. Geundae.." ucapannya terjeda saat mengamati satu nama tertera di ponsel Junho yang berada di saku lelaki itu, dan tepat layar nya menghadap ke arah Eveline.
Junho yang menyadari tatapan Eveline bergegas mengambil ponselnya dan izin menjauh untuk menerima panggilan tersebut.
"Apa aku tidak salah baca?" batin Eveline.
....
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In Summer
Cerita PendekAwalnya aku takut. Ketika menatapnya, ketika berhadapan dengannya, ketika berbicara dengannya, bahkan ketika hanya mendengar namanya disebut. Takut ku pun tentu beralasan, dan dari itu, aku akan berusaha menghindar jika ada kesempatan. Dan aku akan...