Alana dan Raka. Dua makhluk itu kini tengah duduk di bangku taman. Tatapan keduanya lurus ke depan. Melihat segala hal yang ada di hadapannya dengan tatapan kosong. Meratapi nasib masing-masing. Alana berkutat dengan ke sakit hatiannya pada Aldi. Dan Raka? Sebenarnya kekesalan Raka hendak meledak. Berkat Alana, Salsa salah paham. Tapi sepertinya untuk saat ini Raka tidak tega berkoar-koar mengeluarkan kekesalannya. Melihat kondisi Alana yang sedang galau kronis.
Raka sudah menanggalkan jas hitamnya pada bahu Alana. Karena gadis itu hanya mengenakan kaos berlengan panjang dan rok pendeknya. Kenapa gadis itu senang sekali memakai rok? Membuat Raka kesulitan jika hendak mengantarnya untuk pulang menggunakan motor.
Raka tersentak. Mengajaknya untuk pulang? Memangnya Raka berniat untuk mengantarkan gadis itu pulang? Sepertinya secara tidak sadar memang seperti itu.
“Udah malem,” ucap Raka. Sebenarnya tanpa berkata seperti itupun Alana sudah tahu kalau saat ini sudah malam kan? Lalu apa maksudnya?
“Gue anter pulang ya?” Sedikit malas Raka mengatakan hal itu sebenarnya. Jika Raka mau, Raka bisa meninggalkan Alana begitu saja di tempat ini, tapi kenyataannya ia masih punya hati.
“Lo pernah ngerasain ga rasanya di duain? Diputusin? Di PHP-in? Digantung kayak jemuran.” Alana tiba-tiba berkata seperti itu.
Raka menoleh sekilas, lalu tatapannya kembali lurus ke depan.
'Gue gak pernah digituin tapi ngegituin,' jawab Raka dalam hati.
“Sakit loh.” Alana memainkan jemaarinya, memutar-mutar jas Raka.
“Lo bisa ngerasain gak sih perasaan gue?” Alana kini menoleh ke arah Raka.
Raka mengangguk. Walau jawaban sebenarnya itu harusnya 'menggeleng' karena ia tidak tahu bagaimana rasanya, bagaimana sakitnya. Sama sekali belum pernah merasakan.
“Aldi itu mantan gue. Dia ngeduain gue, mutusin gue, dan sekarang dia bilang dia mau balikan sama gue setelah putus dari Sheila-ceweknya. Tapi ternyata enggak. Tiap hari dia malah bikin gue tambah sakit.”
'Duk'
Kepala Alana jatuh ke samping kanan, tertahan oleh pundak Raka.
“Dan sekarang harusnya lo sadar, gak ada gunanya lo nungguin dia,” ucap Raka, sok memberi nasihat. Secara tiba-tiba kata-kata itu keluar. Entah kenapa saat ini Raka ingin ikut meredakan kesedihan Alana.
“Mungkin,” jawab Alana, singkat.
'Terus nasib gue gimana? SALSA?'
Raka tiba-tiba mengingat gadis yang saat ini tengah ia kejar. Raka sebenarnya ingin mengatakan hal itu, berharap Alana mau membantunya menjelaskan bahwa di antara mereka tidak ada hubungan apa-apa, dan tadi itu hanya salah paham. Tapi... Melihat wajah Alana masih seperti itu, sepertinya Raka harus mengurungkan niatnya untuk saat ini, mungkin besok ia akan mengatakannya. Itupun jika ia bisa menemui Alana lagi di fakultas.
Karena Raka sama sekali tidak memiliki identitas Alana kan? Hanya mengetahui namanya. Jurusan apa? Kelas apa? Dan nomor telepon yang bisa dihubungi? Raka tidak tahu. Bagaimana ia bisa menemui Alana besok untuk meminta bantuannya, menjelaskan pada Salsa?
“Gue... Minta nomor. Nomor hp lo? Boleh?” Raka sedikit ragu mengungkapkan maksudnya, karena takut Alana berpikiran yang macam-macam.
'Bugh'
Baru saja Raka berpikir seperti itu, kepalan tangan itu sudah menghantam dadanya.
“Gue lagi patah hati, tapi bukan berarti lo bisa ngedeketin gue seenaknya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Siete Ocultos
Historia Corta"Penyendiri yang menyisakan kesendirian, didalam nya diriku tersesat Sebuah surat perpisahan terlipat kumal ada dikantongku." November 2018