Lima

9 2 1
                                    


'Brak'

Pintu apartemen terbuka sedikit kencang. Raka mendorong dengan tidak sabar, tidak sabar karena kini wajahnya terasa semakin sakit akibat pukulan Fajar tadi.

Alana masih mengikutinya dari belakang.

“Lo udah pulang?” Septian dan Galih berjejal di pintu kamar, ternyata dua makhluk itu belum pulang, masih menunggu Raka.

“Hai?” Sikap Galih mendadak manis. Pada siapa? Jelas saja pada gadis yang saat ini berdiri di samping Raka.

Raka mengerutkan dahinya. Galih menyapa...

“Gue Galih.” Tanpa diketahui kini Galih sudah berdiri di hadapan Alana.

“Hhh... Lo gak tanya kabar gue? Lo gak liat muka gue?” tanya Raka dengan heran.

“Nama lo siapa?” tanya Galih lagi, mendekatkan telinganya pada wajah Alana, membuat Alana sedikit merenggangkan wajahnya.

'Centil banget si!' Umpat Raka sebal.

“Alana,” jawab gadis itu dengan senyum ramahnya.

Raka memiringkan bibirnya menatap tingkah centil Galih. Lupakan. Raka harus segera mengompres lebamnya dengan air hangat.

“Lo yang waktu itu nemuin gue--nanyain alamat Raka kan?” Septian juga mendekat, menghampiri Alana yang masih berdiri tidak jauh dari pintu masuk.

Gadis itu mengangguk.

“Oh... Hai gue Septian. Kita belum kenalan karena waktu itu buru-buru kan?” ucap Septian basa-basi seraya mengulurkan lengannya.

“Alana,” jawab Alana untuk yang kedua kalinya.

Oh ya. Tidak ada yang memperdulikan nasib Raka yang memiliki lukisan berwarna biru keunguan di tulang pipi kirinya. Biarkan mereka tenggelam dalam senyuman Alana, yang Raka akui sampai saat ini selalu mampu melumpuhkan saraf-saraf motoriknya. Entah ada zat apa yang menyeruak ketika Alana tersenyum, seperti obat bius yang mampu membuat Raka tenang sekaligus tidak sadarkan diri. Mungkin itu juga berlaku pada laki-laki lain, tidak terkecuali Galih dan Septian? Mungkin.

“Selesai.” Alana menaruh handuk kecil itu ke dalam wadah yang berisi air hangat. Lalu melangkahkan kakinya menuju dapur untuk membuang air tersebut.

Septian dan Galih sudah pulang, sikap ricuh mereka yang sangat mengganggu Alana sudah berakhir karena ada urusan masing-masing yang harus mereka kerjakan. Urusan apa? Entah lah, hanya mereka yang tahu. Walau sebenarnya mereka masih ingin berdiam untuk memandangi Alana, senyum Alana lebih tepatnya.

“Makasih,” ucap Raka ketika Alana sudah duduk di sampingnya lagi.

“Itu permintaan maaf gue,” ucap Alana tertunduk. Jari tangannya memutar-mutar ujung rok.

“Apa sih? Kenapa minta maaf terus? Gak ada yang salah sama lo. Lo cuma mau bantuin gue kan?” Raka memiringkan wajahnya agar dapat melihat wajah gadis itu.

Alana menoleh, tersenyum lalu mengangguk.

Hhhh... Jangan kasih gue senyuman itu. Batin Raka mencak-mencak. 'Gue takut kalau gue... Hhh... Lupakan.' Raka berkecamuk dengan batinnya sendiri.

Hening...

Keduanya masih duduk berdampingan, sama-sama menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Tatapan mereka kosong, memandang segala hal di hadapan mereka tanpa arti apapun.

“Gue bakal bantu lo. Apapun. Kapanpun lo mau gue bantuin lo,” ujar Alana, mungkin perasaan bersalahnya belum hilang.

“Gue masih bisa atasi masalah gue sendiri Alana,” ucap Raka sedikit melirik ke samping kiri.

Siete OcultosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang