Empat

11 3 2
                                    

Beberapa kali pintu depan terdengar diketuk, bell beberapa kali berbunyi. Raka masih bersembunyi di balik selimutnya. Membiarkan tubuhnya tetap hangat terselubung selimut karena di luar sana sepertinya sedang turun hujan. Padahal masih pagi, tapi hujan sudah mengguyur kota Bandung dalam waktu sepagi ini.

Dalam keadaan seperti ini sepertinya sangat tepat untuk bertidur-tidur ria. Tidak ada yang mengganggu. Tidak ada yang mengetuk pintu! Tidak ada yang menekan bell terus-menerus seperti saat ini! Arghhh.

Raka membuka selimutnya dengan kasar, duduk di tepi tempat tidur dengan wajah kasurnya. Semalam ia susah tidur, karena minum kopi bergelas-gelas. Frustasi. Frustasi dengan kejadian kemarin siang yang ia alami saat masuk kelas. Dari pada minum alkohol lebih baik menghabiaskan stock kopi untuk satu minggu.

Seharian kemarin ia benar-benar ingin mencongkel matanya sendiri. Sebelum mengantar Alana pulang, Raka sempat melirik papan jadwal dan memastikan kelas Salsa. Dan ajaibnya, kelas Salsha itu ada di W 9 bukan W 6. Bagaimana bisa Raka salah melihat angka 9 menjadi angka 6?

'Ting tong'

Bell itu berbunyi lagi, berkali-kali. Raka mendecakkan lidaahnya. Mengacak-acak rambutnya kesal. Namun kini kakinya harus terayun menuju pintu keluar. Ada siapa sebenarnya di balik pintu sekarang ini?

Raka membuka pintu dengan asal. Tanpa memperhatikan layar televisi dari kamera yang menunjukkan wajah seseorang yang berada di luar sana.

Pintu terbuka. Raka menyambut tamunya dengan wajah terkantuk. Karena ia baru tidur 4 jam.

“Alana?” Mata Raka yang sayu kini terbelalak. Melihat gadis di hadapannya dengan tubuh yang sedikit basah.

“Lo tahu dari mana alamat gue?” tanya Raka, menyimpan kedua tangannya merentang memegangi kusen pintu, agar tubuhnya tidak limbun.

“Tau lah.” Alana tersenyum penuh.

“Nih, gue bawain sarapan,” ujar Alana seraya menyerahkan kantung kresek putih.

“Hm?” Raka masih belum sadar sepenuhnya mungkin.

“Gratis kok.” Alana menepuk-nepuk pundak Raka.

“Makasih ya,” ucap Raka seraya meraih makanan yang Alana serahkan.

“Masuk yuk.” Kini tanpa sadar Raka menarik Alana untuk memasuki apartemennya.

Perdana bagi Alana, baru kali ini memasuki apartemen pribadi seorang laki-laki. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat dari sebelumnya. Alana kini sudah berdiri di samping sofa. Bingung.

“Duduk dulu. Gue ambil handuk,” ucap Raka seraya melangkah memasuki kamarnya.

Alana kini duduk di atas sofa putih itu. Tatapannya berpendar, berkeliling menatap setiap sudut ruangan. Raka tinggal sendirian di sini?

“Nih.” Kedatangan Raka cukup membuat Alana sedikit tersentak, karena gadis itu masih sibuk dengan fokusnya pada sudut-sudut ruangan.

“Berantakkan ya? Maklum kan?” Raka tersenyum dengan wajah malas. Malas karena ia rasa tubuhnya masih membutuhkan waktu untuk tertidur.

Alana hanya tersenyum seraya menggosok-gosokan handuk pemberian Raka pada bagian tubuhnya yang ia rasa cukup basah.

“Sebenernya gue cuma mau nganterin makanan itu aja. Gak niat masuk... Ehm... Gue pulang ya?” Entah mengapa Alana merasa kikuk jika berdua dengan Raka di apartemen ini, tanpa ada siapapun di sini, hanya mereka berdua.

“Di luar ujan gede, tunggu sampe ujannya reda,” ucap Raka disertai senyumnya.

“Lagian hari ini lo gak ada kuliah kan? Hari sabtu. Jadi lo gak ada alesan buat buru-buru pergi,” ucap Rala lagi. Kali ini pria itu melangkahkan kakinya menuju dapur, mengambil piring serta sendok untuk makan. Ketika ia melihat jam dindingnya ternyata sudah pukul 10 pagi, pantas gelombang perutnya sudah beriak.

Siete OcultosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang