Enam

4 1 2
                                    

Raka sudah memposisikan motornya di basement sebuah rumah sakit. Langkahnya kini terkesan berlari, pandangannya di edarkan mencari sosok Salsa di setiap lorong kamar pasien. Dimana? Sudah 10 menit berlalu Raka mencari ruang UGD belum ia temukan, panik yang Raka rasakan sekarang mengalahkan kecerdasannya untuk tidak bertanya pada suster atau petugas rumah sakit lainnya.

“Sa?” Dengan nafas terengah-engah dan rambut depannya yang bergerak naik turun tak beraturan Raka akhirnya menemukan Salsa. Gadis itu tengah duduk di bangku yang terletak di depan ruang UGD.

Baru saja Raka muncul di hadapannya, tiba-tiba Salsa sudah menabrakan tubuhnya dengan kencang. Isakan itu kini berubah menjadi raungan.

Kenapa? Siapa yang berada di dalam ruang UGD? Apa yang terjadi sebenarnya? Salsa sama sekali tidak memberitahu apapun di telepon tadi, hanya menyuruh Raka untuk datang ke rumah sakit dan menemuinya di sini. Sebenarnya Raka sudah kepo setengah mati tentang apa yang terjadi. Tapi jika Raka menanyakan saat ini, sepertinya Salsa masih terlihat histeris.

Tiga puluh menit berlalu...

Kini Salsa sudah duduk tenang di samping Raka. Matanya terlihat bengkak pasca menangis tanpa henti tadi.

“Fajar kecelakaan,” ucap Salsa dengan terbata.

Oh... Jadi yang ada di dalam UGD itu Fajar?
Raka menarik nafas panjangnya. Raka bisa merasakan bagaimana perasaan Salsa saat ini. Kenapa bisa seperti itu? Belum sempat Raka mengeluarkan pertanyaan yang ada dalam benaknya,

“Dia mau ke rumah gue. Mau nganterin bunga buat gue. Buat nebus kesalahannya tadi pagi karena dia...”

Jangan bilang karena... Raka mulai kalut.

“Tadi pagi Fajar gagal ngasih bunga buat gue.”

'Jeder'

Kepala Raka seperti terbentur benda dengan bobot 7 kali berat tubuhnya.

“Ketika di jalan menuju rumah gue dia kecelakaan.” Tangisan Salsa kembali pecah setelah menceritakan kejadian itu.

Raka? Laki-laki itu kini diam, tidak berkomentar apapun. Hanya bisa menarik Salsa dalam dekapannya, menenangkan gadis itu yang kini kembali menangis histeris. Bunga itu... Tidak asa perasaan lain yang berjejal di dalam dada Raka kini selain perasaan bersalahnya.

“Maaf,” gumam Raka pelan. Salsa tidak mendengarnya, karena tangisan Salsa terdengar lebih kencang dari pada gumaman Raka.

Raka membiarkan air mata Salsa membasahi kemeja yang ia pakai saat ini. Salsa benar-benar masih terlihat terpukul. Andai saja... Raka mulai berandai-andai. Andai ide jahilnya tadi pagi tidak ia realisasikan. Mungkin saat ini Salsa masih bersama Fajar.

***

Raka melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Gas motor ia tarik tanpa putus. Yang ia butuhkan saat ini adalah ketenangan. Ia butuh ketenangan untuk segera merontokan rasa bersalahnya yang sedaritadi menggerogoti isi dadanya.

'Brmmm'

Raka menghentikan motornya di depan sebuah pagar rumah. Sama sekali tidak berniat menuju rumah ini sebelumnya, namun entah setan apa yang membawanya kesini. Menuju tempat ini. Ia sendiri tidak tahu.

Tangannya bergerak merogoh saku celanannya. Meraih ponselnya dan mengotak-atik ponselnya sejenak.

Nada sambung terdengar. Tidak lama, karena seseorang yang ditelepon di seberang sana kini sudah menjawab teleponnya.

“Gue ada di luar, di depan rumah lo,” ucap Raka lalu menutup kembali teleponnya.

Tidak lama, hanya berselang 3 menit setelah ia menelepon tadi. Tiba-tiba, “hai? Tumben? Ada apa?”

Siete OcultosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang