Aku sudah merasakan begitu banyak kepedihan, dan yang paling pedih adalah berharap pada manusia
-Ali bin Abi Thalib-•••
Teman-temanku yang sedari tadi asik membicarakan kesibukan masing-masing sembari melahap berbagai hidangan di meja makan akhirnya tersadar dengan kepergianku yang cukup lama. Kinana angkat bicara "Eh, Lia mana? Kok lama kali?"
"Gak tau tuh," sahut Fanny.
"Coba diliatlah, nanti ada apa-apa," saran Mifta.
"Yaudah sebentar, biar aku aja yang liat," sambung Kinana dan langsung menuju toilet.
Tok tok tok ...
"Lia? Lia? Lia di dalam? Kok lama kali? Ada apa? Baik-baik aja kan?" Tanya Kinana padaku bertubi-tubi.
Aku yang menyadari kehadirannya langsung menjawab. "I-iya, Kin, gak apa-apa, kok. Se-sebentar lagi Lia keluar, d-duluan aja," jawabku degan isak tangis yang kutahan sekuat tenaga agar tak didengar olehnya.
"Oh, yaudah, kami tunggu, ya," jawabnya dan langsung beranjak pergi dari sana, terdengar dari langkah kakinya yang semakin lama semakin terdengar menjauh.
Aku menutup kedua mataku, membuka mulutku membiarkan oksigen masuk untuk beberapa saat. Sembari meringkan rasa sakit hatiku untuk kemudian langsung membereskan diriku, membenarkan hijabku, mencuci mukaku agar tak terlihat seperti orang yang baru selesai menangis. Dan langsung kembali pada teman-temanku, tak ingin rasanya kembali duduk di meja makan bersama mereka mengingat ada dua sosok yang ketika melihatnya hatiku seakan ingin meledak. Siapa lagi kalau bukan pasangan bang Danil dan Elna.
Rasanya, menumpahkan segala sesak di dada dalam toilet ingin kulakukan lebih lama, jika saja sedang tak bersama semua teman-temanku saat ini.
Jika bisa, aku lebih memilih untuk pulang ketimbang kembali melanjutkan makan malam bersama mereka. Tapi apa boleh buat, aku tak ingin mereka menyadari bahwa aku sedang cemburu, marah, dan sedih. Aku juga tak ingin menunjukkan rasa itu semua pada mereka. Cukuplah bahagiaku saja yang terlihat.
"Eh, maaf, nunggu lama, ya?" tanyaku berbasa-basi saat aku telah menduduki badanku kembali pada salah satu kursi di antara mereka. Tampak bang Danil juga sudah duduk bergabung dengan mereka. "Tuhan, haruskah aku juga menyapanya?" batinku.
"Aman Lia, santai aja," jawab Fia.
"Jadi cemana persiapan pernikahanmu, Na? Udah komplit semua dong, ya? Tinggal beberapa hari loh ini?" tanyaku yang sebenarnya membuat hatiku sakit.
"Udah kok, udah semua. Cuma satu yang belum," ia menggantungkan perkataannya.
"Lho, apalagi? Udah tinggal beberapa hari lagi, masak ada yang belom?" tanya Mifta.
"Baju pengantin," ringkasnya.
"Lia, bisa bantu pilihin baju pengantin gak? Denger-denger katanya kau jago soal milih baju nikahan. Apalagi soal make up?" tanyanya padaku.
"Hah? Nghhh," kagetku.
"Bisa kan?" tangan kiri Elna mendarat lembut tepat pada punggung tangan kananku, tampak wajahnya yang penuh dengan harapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
D I A [Bukan Pria Almet] {Complete}
RomanceMasa PSG membuatku mengenal banyak orang, termasuk DIA