2. Keseharianku

62 4 2
                                    

Jam 3 dini hari,aku sudah berada di pasar tradisional bersama ibuku. Banyak sekali bahan makanan yang harus ku beli untuk kebutuhan cafe. Aku sudah berkeliling untuk mencari sawi putih. Namun,semua lapak penjual hanya berkata "kosong,neng". Astaga, aku harus mencari kemana lagi?

Aku terus menyusuri setiap koridor pasar. Pasar yang penuh dan berdesakan dengan orang. Bau anyir yang sangat semerbak,tak hanya itu, tetapi semua bercampur menjadi satu. Aku mampir di salah satu lapak penjual ikan. Oh,bukan aku yang beli,tetapi ibuku.

"Ikan tongkolnya 5 biji na" kata Ibu. Aku tahu,pasti Ibu akan memasak ikan tongkol lumpur sambal. Menu itu adalah andalan Ayah.

"Kak, mau beli apa lagi?" Tanya Ibu kepadaku. Aku menyapu seluruh tempat yang ada di depanku.

"Beli buah aja bu,buat jus di cafe. Banyak yang udah abis"

Aku dan Ibu berjalan maju lalu belok kanan. Memasuki koridor di mana banyak sekali lapak penjual buah buahan,tak hanya lokal,tapi komplit mah.

"Mangganya ini berapaan?" Tanyaku.

"Nah yang ini teh satu kilonya 25 ribu" Aku hanya mengangguk dan memilih mangga yang bagus.

"Ini semua timbang aja,berapa teh jumlahnya?"

"115 neng"

"Ini,teh" kataku sembari memberikan uangnya.

Setelah semua belanjaan sudah terpenuhi. Aku dan ibuku langsung menuju ke parkiran untuk mengambil sepeda. Jam sudah menunjukan pukul 4.15 pagi. Oh,hampir subuh. Rasanya aku harus segera pulang.

"Bu,sudah siap?" Kataku melihat belakang.

"Sudah,kak" jawab Ibu.

Aku langsung melajukan motorku memecah keheningan pagi kota Bandung. Jalanan masih sepi,tak banyak orang keluar. Aku menikmati setiap detik perjalanan ini.

Hawa dingin membuatku berkhayal,aku ingin sekali tinggal di kaki gunung. Pasti pemandangannya lebih indah.

"Kak,bawa motor kok kaya keong,cepet gih keburu subuh"

"Eh,maapkeun,bu" aku langsung menambah kecepatan motorku. Tak jarang pula,aku mendahului sepeda dan mobil yang ada di depan. Aku merasakan jika ibuku berpegang erat di jaket yang menyelimuti tubuhku.

Gang masuk rumahku sudah terlihat dari kejauhan. Mengambil sen kanan,lalu membelokan roda depan. Melewati rumah rumah tetangga dan juga kebun yang ditanami pohon pisang dan singkong.
Rumah Bu. Sumarni nampak ramai,acara arisan keluarga.

Ibu menyuruhku menghentikan motor di depan rumah Bu.Sumarni,ibu membawa beberapa tentengan kantong plastik hitam yang ditinggal. Ibuku masuk ke dalam,aku hanya menunggu.

Ibu keluar dari rumah bu. Sumarni. Berjalan kearahku,dan lagi lagi membawa kantong plastik hitam.

"Bawa lagi,bu?"

"Ini makanan,kak. Tadi diberi Bu. Sumarni"  aku hanya ber oh ria saja. Kembali menghidupkan motorku dan melajukannya.

Aku dan Ibu tiba di pelataran rumah,Ayah dan Adik sudah menyambut di teras depan. Aku tertawa melihat Lea yang tertidur di kursi teras dengan posisi duduk sembari memegang ponselnya.

Aku mendekatinya,berjalan perlahan.

"Satu,dua,ti....."

"Kakak,jangan nakal" Marah Ayah. Aku hanya tertawa dan duduk di samping Ayah.

"Malah duduk di sini,cepat subuhan" kata Ayah.

"He he,iya". Aku beranjak dari kursi depan dan berjalan menuju kamar untuk salat.

Terbit Dan TenggelamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang