Chapter 7 -Unpredictable-

833 35 5
                                        

Revan menghela napas. Ini sudah jam 5 sore. Dan dirinya masih harus menekuni berkas-berkas dimeja kerjanya yang masih lumayan banyak. Seharusnya semua berkas itu tidak berada di mejanya jika saja Fandy tidak absen hari ini. Ah, ya. Seandainya... Seandainya dia bisa lebih cekatan, seandainya dia bisa lebih cepat mengumpulkan nyalinya untuk melamar gadisnya, seandainya.. seandainya.. seandainya..

Revan menggelengkan kepalanya. Dia tidak boleh seperti ini. Ingat! Calon istrinya adalah orang yang memegang teguh yang namanya pendirian. Jangan putus asa! Ingat janjimu pada papa untuk jadi suami yang baik untuk istrimu. Revan tidak boleh mengeluh. Dia harus berusaha untuk mengimbangi calon istrinya.

Revan melirik layar laptopnya yang menampilkan sederetan data dari tempatnya bekerja. Jari-jarinya bergerak dengan cepat men-save data-data itu lalu menutup semua aplikasi yang tadi dibukanya.

Bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman tipis begitu wajah seorang perempuan terpampang menjadi wallpaper laptopnya. Gadis yang tersenyum lebar. Menampakkan lesung pipit yang begitu manis disisi sebelah kanan bibirnya. Gadis itu mengenakan jilbab birunya yang membingkai wajahnya dengan apik. Posisi gadis itu yang duduk bersila di teras rumahnya membuat dirinya terlihat semakin menggemaskan. Semakin mungil. Revan terkekeh kecil ketika otaknya memutar kembali memori pertunangannya dengan Putri. Ketika dia memeluk gadis itu. Bahkan tinggi gadis itu hanya sebatas lehernya. Namun, terasa pas dalam pelukannya.

Detik itu juga, Revan menyadari bahwa dirinya merindukan gadis itu. Putri. Gadis itu yang membawanya kembali pada Revan yang sebenarnya. Gadis pilihan sang mama yang menjerat hatinya dengan ketaatannya kepada Yang Maha Kuasa. Gadis remaja yang selalu terlihat lebih dewasa dari usianya. Gadis yang membawa cahaya kembali kepada Revan setelah ia tersesat di dalam kegelapan.

Revan menghela napas lagi. Tangannya meraih benda pipih canggih yang tergeletak di meja kerjanya. Mendial sederetan nomor yang sudah ia hafal diluar kepala.

Jari telunjuknya bergerak-gerak mengetuk mejanya. Menunggu seseorang diseberang sana mengeluarkan suaranya. Menunggu seseorang diseberang sana mengangkat panggilannya.

Satu menit berlalu begitu lama untuk Revan. Beberapa kali dia menghela napas panjang, tidak sabar menunggu panggilannya untuk diangkat.

"Assalamu'alaikum..." Hati Revan terasa terbang ketika akhirnya sebuah suara yang ia rindukan terdengar di telinganya. Matanya berbinar riang, bibirnya membentuk senyuman manis.

"Wa'alaikumussalam, Putri." Revan menjawab dengan lembut. Suaranya begitu lembut ketika menyebutkan nama gadisnya.

"Ada apa kak?" Gadis di seberang sana sedang bertanya, tapi pikiran Revan terlalu bahagia mendengar suara gadis itu. Hatinya melayang merasakan kebahagiaan yang tiada terkira saat ini. Betapa dia lega mendengar suara gadis itu merasuk ke telinganya. Betapa wajahnya yang lelah kembali berseri-seri begitu menyadari bahwa gadisnya masih disana. Masih mengangkat telpon darinya.

"Kak?" Putri memanggil lelaki yang menelponnya. Merasa terabaikan. Sedikit.

Revan tersentak begitu mendengar panggilan dari Putri. Dia langsung gelagapan.

"Eh? Iya Put, maaf kakak baru nggak terlalu konsen. Kakak hanya mau tanya, Putri sudah pulang?" Revan menatap sebuah pigura yang berdiri dengan apik di sudut meja kerjanya. Fotonya dan foto Putri yang sedang berdiri bersampingan namun tanpa menyentuh satu sama lain. Revan tersenyum melihat betapa lebarnya senyuman yang tersemat dibibirnya dan dibibir gadisnya.

Revan menunggu tanggapan dari orang yang ia telfon. Dua menit Revan menunggu gadisnya bersuara, namun keheningan masih memenuhi telinganya. Revan menghela napas. Merasakan ganjalan yang begitu kuat di hatinya. Merasakan sebuah rasa yang menurutnya aneh. Dua menit yang begitu lama dirasakan Revan. Menit ketiga masih tanpa sahutan dari Putri. Wajah Revan mulai menampakkan seraut kekhawatiran.

When Hijab Meet Her DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang