Revan tertegun mendengar penuturan Putri di ujung sana. Gadis itu begitu tegas dan yakin dengan setiap kata yang ia ucapkan. Bahkan Revan tidak habis pikir ternyata gadisnya bisa berucap sedemikian tegas.
Revan menghela napas. Itu keputusannya. Keputusan gadisnya. Keputusan yang bila ditinjau ulang memang akan sangat menjaganya dan Putri. Keputusan yang seharusnya dia ambil sedari dulu.
"Kak Revan masih di sana, kan?" Suara Putri masih setia berada dalam sambungan telepon.
"Ah, iya. Aku masih di sini kok dek. Kakak minta maaf sama kamu. Seharusnya kakak mikirin ini dari dulu. Bukan kamu yang harusnya mengambil keputusan ini."
"Ndak papa kak. Putri sama sekali ndak nyalahin kakak. Biarkan semua berjalan apa adanya sampai waktunya tiba. Putri cuma ndak mau kita tenggelam dalam dosa dibalik ikatan kita saat ini. Biarlah kita memperbaiki diri untuk menjadi semakin pantas hingga waktunya tiba. Putri ndak ingin kakak berdosa dengan adanya Putri yang belum halal buat kakak. Putri harap kakak ngerti."
"Iya dek. Kakak bakal terima semua keputusanmu dengan ikhlas. Lagipula itu untuk kebaikan kita juga. Kakak tunggu kamu sehabis kelulusan."
"Iya kak. Ya sudah, Assalamu'alaykum warahmatullah wabarakatuh."
"Wa'alaykummussalam warahmatullah wabarakatuh."
Putri. Vania Putri Laksita Sadewi. Gadis yang benar-benar telah menjungkirbalikkan dunia Revan. Gadis yang dengan segala kesederhanaannya telah membuat Revan bertekuk lutut hanya untuknya. Gadis yang menyadarkan Revan bahwa semuanya akan selalu mungkin jika Allah sudah berkehendak. Gadis yang baru saja memintanya untuk tidak menemuinya hingga acara peghalalan mereka berdua.
Rentang usia yang lumayan jauh di antara mereka berdua mungkin juga menjadi pertimbangan Putri untuk mengambil keputusan ini. Delapan tahun. Revan mengakui bahwa gadis itu berbeda dengan gadis lainnya. Tidak banyak gadis remaja yang bersedia diminta oleh seorang lelaki pada usia belia. 17 tahun. Apalagi yang memintanya adalah seorang lelaki matang dalam hal umur dan fisiologis. Revan sama sekali tidak mempermasalahkan keputusan Putri untuk tidak bertemu dengannya terlebih dahulu, karena sebelum ini semua terjadi, dia sudah menyiapkan diri. Bahkan untuk konsekuensi terburuk sekalipun.
Revan yakin bahwa memang Putri menghindarinya untuk menjaga diri. Tidak bisa dipungkiri bahwa Revan adalah lelaki dewasa yang normal. Ingat! Normal! Revan yakin Putri juga merasa takut jikalau suatu saat Revan tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Bukan karena Putri meragukan keimanan dan keteguhan hati Revan, tapi karena syaitan tak akan pernah berhenti untuk menjerumuskan manusia ke dalam lembah dosa. Syaitan akan senantiasa menggoda manusia, mulai dari cara yang lembut hingga cara yang ekstrim. Tak akan pernah ia berhenti hingga manusia menjadi temannya di neraka kelak.
Revan menghela napas. Mengelus dadanya sembari beristighfar. Memohon ampunan pada Allah Azza Wa Jalla atas segala perbuatan dosa yang ia lakukan selama ini. Revan sadar bahwa mungkin niatnya untuk menghalalkan Putri untuk dirinya menjadi satu dari sekian ribu cara syaitan untuk menjerumuskannya ke dalam neraka. Bahwa mungkin setan tengah menjadikan Putri sebagai godaan terindah untuknya. Begitu pula bagi Putri.
Alhamdulillah. Revan kembali bersyukur karena telah dipertemukan dengan sosok Putri oleh Allah. Jika bukan Putri yang ingin ia halalkan, mungkin saat ini dia sudah berkeluarga dengan wanita lain dengan jalan pacaran terlebih dahulu. Atau malah dirinya sedang menikmati bujuk rayu syaitan berupa pacaran dengan yang bukan mahramnya. Naudzubillah.
Revan menghela napas. Melafalkan basmalah dengan penuh khidmat sebelum dia meraih peralatan dokternya dan berjalan meninggalkan ruang kerjanya, menuju IGD rumah sakit tempat ia bekerja. Meninggalkan sekejap keputusan dadakan dari gadis yang segera ingin ia halalkan. Keputusan untuk menjaga mereka berdua dari lembah dosa. Keputusan dari seorang gadis remaja yang berpikiran begitu dewasa. Bahkan, Revan sangsi jika pemikirannya lebih dewasa daripada pemikiran gadisnya.