"Dewa!"
Sebuah suara terucap lembut dari mulut Arca. Namun sang empunya nama mengabaikan panggilannya. Entah dia mendengar panggilan Arca atau tidak, yang jelas Dewa masih terfokus membaca buku yang dipegangnya.
"Wa!"
Arca mengulang sekali lagi panggilannya, kini dengan suara yang lebih keras. Namun, ia tetap tak bergeming. Arca pun berdecak sebal. Akhirnya, ia memutuskan untuk turun dari tempat tidur. Menghampiri Dewa yang sedang membaca buku, sambil membawa sebuah benda berbentuk tabung di tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya menyeret tiang infus dengan perlahan.
Srettt.. Brukk..
"Heii!"
Sorot mata, air muka, dan juga nada bicara Dewa cukup untuk menyiratkan bahwa anak itu sedang marah. Bagaimana tidak? Sesampainya Arca di tepi ranjang Dewa, ia segera menarik paksa buku yang sedang dibaca Dewa. Lalu melemparkannya ke sembarangan tempat.
"Kenapa kamu mengambil dan melempar bukuku? Kamu gak pernah belajar sopan santun ya?" ucap Dewa masih dipenuhi dengan amarah.
"Aku yakin di telingamu tidak ada sampah, karena baru dua hari yang lalu aku memeriksanya. Lantas mengapa kamu mengabaikanku?" ucap Arca sebal.
"Aku gak denger tuh kamu manggil," jawab dewa sekenanya.
Sedetik kemudian, teriakan Dewa berbunyi nyaring di seluruh sudut ruangan. Ia kesakitan, karena Arca kembali menarik telinga Dewa. Persis seperti yang ia lakukan dua hari lalu.
"Kamu bohong. Tak ada sampah di telingamu," ucap Arca setelah melepas tarikannya dari telinga Dewa.
"Arca kamu tahu? Semakin lama aku satu ruang inap denganmu, semakin besar persentase aku dipindahkan ke rumah sakit jiwa," ucap Dewa geram.
"Kenapa bisa begitu? Jiwamu ada yang sakit? Emang rumah sakit ini tak punya obatnya?"
Mendengar pernyataan Dewa, justru membuat Arca bingung. Arca baru pertama kali bertemu orang yang mempunyai penyakit jiwa. Bahkan baru pertama kali ia mendengar nama penyakit jiwa.
"Argghhh"
Bukk.. Bukkk.. Bukk...
Dewa menggeram kesal. Ia pun lekas mengambil bantal yang menjadi tempat sandarannya. Lantas memukulnya berkali-kali. Melampiaskan amarah pada benda yang tak bersalah. Tak mungkin kan ia memukul Arca? Ia tak ingin lagi membuat keributan di rumah sakit.
"Dewa!"
Panggilan Arca mampu menghentikan aktifitas yang dewa lakukan. Dewa terdiam sejenak, masih menatap ke arah bantal. Berusaha mengatur nafas dan emosi. Lantas ia mengalihkan pandangan ke tempat Arca berdiri dengan wajah sangar.
"Mau apa lagi?" tanya Dewa sebal.
Arca kini menyodorkan benda berbentuk tabung yang sedari tadi digenggamnya pada tangan kanannya. Rupanya itu adalah celengan. Sebuah celengan sederhana dengan warna pink serta memiliki sebuah gambar bunga anggrek hijau kecil di bagian tengahnya.
"Ini bunga kesukaanku," ucap Arca sambil menunjuk gambar bunga Anggrek yang terdapat pada celengannya.
"Terus?"
"Kamu ingin menyumbang ke celengan ini?" tanya Arca.
Dewa terdiam sejenak. Memperhatikan gadis dihadapannya dengan seksama. Dalam otaknya ia berfikir, 'apakah dia sedang mengemis?'
"Kenapa melihatku sepeti itu? Ada yang aneh?"
Arca yang sadar telah menerima tatapan aneh dari Dewa pun mengeluarkan protes dari mulut kecilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERENDIPITY
Teen Fiction[Hiatus] Ini bukan cerita klise. Bukan hanya mengisahkan tentang cinta segitiga anak SMA. Percayalah kisah ini lebih rumit dari apa yang kalian bayangkan. "Kamu datang ke dalam kehidupanku Dengan cara yang menyebalkan. Tapi, aku suka. Cause you're m...