"Udah lama banget dek. Kalau ibu gak salah, sepuluh tahun yang lalu mereka pindah."
Kata-kata itu terus terngiang-ngiang dalam benak Dewa. Bahkan saat makan malam di rumah pun, Dewa masih terpikiran dengan kata-kata tersebut. Dewa hanya mengaduk-aduk makanannya, tanpa niat memakannya. Orang tuanya yang melihat tingkah sang anak pun terheran.
"Sepuluh tahun gak ketemu, orang tuanya gak di sapa? Gak ingin melepas rindu?" sindir ibunya Dewa.
Alih-alih menjawab Dewa menatap ibunya heran. "Sepuluh tahun? Tunggu dulu. Berarti Arca pindah tepat saat aku pergi ke Jerman dong?" batin Dewa dalam hati.
"Kok malah natap mama kayak gitu sih?" sang ibu yang tidak mengetahui pikiran sang anak, hanya dapat bingung mendapat tatapan aneh dari Dewa.
Brakkk...
"Oh iya!"
Dewa berseru. Semua mata kini tertuju pada Dewa. Bukan hanya orang tuanya saja, melainkan para pelayan yang berkeliaran di sekitar ruang makan pun ikut terkejut dengan suara gebrakan meja. Ya, Dewa menggebrak meja tiba-tiba yang secara otomatis mendapat tatapan tajam dari ayahnya.
"Papa gak pernah ngajarin kamu seperti ini ya, Dewa." ucap sang ayah dingin.
"Maaf, pa. Dewa lagi gak selera makan. Mau istirahat aja di kamar." ucap Dewa sambil bangkit dari kursinya dan berjalan keluar ruang makan,
"DEWA!"
Suara tegas sang ayah memberhentikan langkahnya. Dewa hanya menghela nafas kasar. Lantas membalikkan badannya. Menatap sang ayah, menuntut jawaban atas panggilan yang ayahnya serukan padanya.
"Duduk kamu sini!" sekali lagi, suara tegas tersebut keluar dari mulut sang ayah.
"Pa, Dewa capek baru balik dari Jerman tadi siang. Sampai di rumah pun baru sepuluh menit yang lalu. Dan besok jam tujuh, Dewa sudah harus bangun untuk les. Jadi, biarkan Dewa istirahat pa." ucap Dewa.
Ayahnya Dewa pun hanya menatapnya gusar, lantas mempersilahkan Dewa untuk kembali ke kamarnya. Dewa berjalan ke kamarnya dengan langkah gontai.
Bukan tanpa alasan Dewa menggebrak meja secara tiba-tiba. Tadi, ia teringat akan surat pertamanya yang ia kirim untuk Arca masih berada dalam kotak surat. Utuh, belum terbaca. Sedangkan, ia mengirim surat tersebut tepat sehari setelah ia sampai di Jerman. Itu semakin memperkuat fakta, bahwa Arca pindah setelah Dewa pergi ke Jerman.
Dewa akui memang ia salah, menunjukkan sikap tidak sopannya terhadap orang tua nya. Tapi, itu hanya sebuah gerakan refleks, yang bahkan tidak ia sadari. Memang orang tua nya tak pernah mengajarkannya untuk bersikap demikian. Wajar saja, yang mereka ajarkan kepada Dewa hanyalah bagaimana untuk tetap pintar. Itu saja, tidak lebih dan tidak kurang.
Sesampainya di kamar, Dewa langsung menghempaskan tubuhnya secara kasar di ranjangnya. Ia mulai berpikir lagi. Dewa merasakan banyak hal aneh tentang Arca.
"Kenapa Arca pindah? Kenapa ia tidak peduli dengan surat-suratku? Dia kan tahu aku mengiriminya surat. Kenapa dia tidak mempedulikannya sama sekali? Padahal ia terlihat senang ketika aku berjanji akan menjadi temannya. Apa cuma aku yang sangat ingin bertemu dengannya sekarang ini?"
Banyak pertanyaan yang muncul dalam benak Dewa. Dan semakin lama, semakin membuatnya kesal dan frustasi. Dewa lantas mengacak-acak rambutnya secara kasar, kemudian berkata "Cewek bodoh, datang ke kehidupanku seenaknya. Menggangguku semaunya. Dan kini meninggalkanku tanpa kabar sekendak jidatnya."
***
Pukul tujuh pagi, Dewa bangun dari tidurnya. Ia berjalan gontai menuju kamar mandi, setelah selesai mandi ia mempersiapkan segala peralatan untuk les privatnya hari ini. Memang les privat judulnya, namun ia memilih untuk tidak belajar di rumah. Suasana rumah akan membuat hatinya semakin memburuk. Ia lebih memilih untuk belajar privat di kafe dekat sekolah lamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERENDIPITY
Teen Fiction[Hiatus] Ini bukan cerita klise. Bukan hanya mengisahkan tentang cinta segitiga anak SMA. Percayalah kisah ini lebih rumit dari apa yang kalian bayangkan. "Kamu datang ke dalam kehidupanku Dengan cara yang menyebalkan. Tapi, aku suka. Cause you're m...