Bab I (Bagian 2)

24 6 2
                                    

Intro penulis;

Terima kasih sudah mampir, jangan lupa vote, share dan kritikannya, ya. :)

---------------------

Pagi ini Selasih bangun lebih lambat, dia terlalu lelah untuk mulai beraktivitas. Gadis dewasa berambut sebahu itu bangkit dari tempat nyamannya, duduk dan hanyut dalam benak sendiri. Matanya menatap tepat pada satu titik di hadapan.

Dari tempat itu, dulu dia sering menguping percekcokan ayah-ibunya. Lalu setelah hening, tak lama kemudian ibunya menggedor pintu kamar sekeras yang dia mempu. Jika tak dibuka, gedoran tidak akan berhenti sampai berjam-jam, tapi jika dibuka, maka Selasih harus bersiap untuk menerima segala hal yang tadi dilakukan sang ayah terhadap ibunya. Tak jarang bahkan lebih parah.

Selasih melangkah menuruni ranjang yang tingginya selutut, menuju kamar mandi. Entah apa yang ada di kepalanya, seperti enyah segala kebahagiaan yang dulu sempat mampir dalam dirinya.

Gadis itu melepas kaus tipis bermotif asimetris, membalut bagian tubuh atasnya yang putih dan nyaris pucat. Air dari keran mengguyur kepalanya, dingin dan gigil, tapi tak dirasanya cukup dalam. Dia melamun lagi.

Selasih berkemas, memasukkan beberapa barang dalam ransel mungil. Dia ingin ke suatu tempat siang nanti. Lokasi yang hanya akan ditentukan oleh perasaan yang datang detik itu juga. Kets biru tua melekat di kaki, kaus longgar putih polos membalut tubuhnya yang mungil dan celana jeans ketat.

Langkah penentu arah mulai menapaki jalanan yang cukup ramai. Rasanya Selasih ingin sekali larut dalam keramaian kota, bersenda-gurau seperti sekelilingnya, atau masuk ke dalam ingar-bingar manusianya. Namun, dia tidak bisa melepaskan beban pikiran dari diri sendiri barang sejenak. Sama sekali dia tak mampu. Rasanya setengah nyawa adalah sebentuk masalah yang menghinggapi sosoknya.

Kakinya melangkah terus, lurus, kadang berbelok tak tentu arah. Yang pasti, dia tidak akan tersasar karena belasan tahun sudah tinggal di kota itu. Arah tujuan masih belum mendapat kepastian, dia bahkan tidak tahu sudah berapa ratus bahkan berapa ribu kali kakinya menapak. Masih belum tahu akan ke mana dia akan mengambil napas sejenak dan meluruskan kakinya yang sudah mulai terasa pegal.

Dia terhenti, hamparan rumput-rumput terpotong rapi dan terurus memenuhi pandangan, tapi tidak dengan pikiran. Dia malah berasumsi bahwa siapa pun yang tega membabat tanaman ini adalah manusia yang kurang memiliki nurani. Tak peduli jika harus terlihat semak dan belukar, asal tidak ada getah yang keluar dari salah satu batang tubuh, maka itu lebih baik.

Sebuah taman yang punya beberapa pohon-pohon tinggi dan rindang, menutupi rumput-rumput yang sudah terpangkas. Tidak tampak banyak dedaun yang gugur, mungkin sudah tersapu bersama tubuh-tubuh rumput yang terpaksa mati oleh benda tajam.

Selasih duduk di bawah salah satu pohon, menyandarkan punggungnya yang kecil. Wajahnya yang tak pernah berjerawat sudah berkeringat dan tidak bersih lagi akibat diseka berulang dengan lengan yang sudah berdebu karena sisa bahan bakar kendaraan di jalan. Selasih mendengus.

"Sayang, jangan lari-lari!" kata seorang ibu pada gadisnya yang masih balita.

Anak perempuan itu hanya mengangguk sambil terus mengejar sesuatu yang tak menahu apa, dia hanya lari saja.

Selasih diam, dia menatap sekeliling. Lalu pandangannya terhenti lagi pada sebuah pertemuan dua anak remaja yang sedang memadu asmara. Mereka berdua masih berseragam sekolah pada pakaian bagian bawahnya, sedangkan atasan sudah berganti kaus berwarna ceria.

Pandangannya berubah, dia meraih ransel di sebelah lalu mengeluarkan isinya. Sebuah notes kover cokelat muda yang punya karet pengikat berwarna kontras. Pena digenggam, sudah mengentre kalimat-kalimat buah dari pikirannya, tidak terbendung betapa banyak imaji yang berdesakan ingin disampaikan.

"Asih...." Sebuah suara menyebut nama gadis itu. "Selasih, kan, ya?" katanya lagi memperjelas ucapan pertama.

Selasih masih menunduk, tapi dia berhenti menulis. Kesal. Pelan, dia mengangkat kepala, menoleh ke sumber suara.

"Romi?"

Gadis itu merinding menatap pria itu. Sepertinya, hal yang ingin dipendam dan dilupakan dulu seperti bergerak retak dan memuntahkan isinya, rahasianya.

Story in ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang