7. Ayah

9 3 0
                                    

"pagi Novia" sambut manager perusahaan tempatku bekerja. Namanya Heru.

"pagi juga pak" balasku.

"bagaimana pekerjaanmu?"

"lancar pak. Lagipula saya sangat menikmati bekerja disini."

"pak?" panggil seseorang dari belakang kami.

"oh, pak Arman. Silahkan pak, bisa langsung bekerja. Untuk alat-alat bapak tanyakan saja pada satpam." ucap pak Heru.

"dia pekerja baru pak?" tanyaku kepada pak Heru setelah orang tadi melewati kami.

"iya. Dia kerja sebagai office boy mulai hari ini." jawabnya senang.

***

"pagi Novia" sambut teman sebelah meja kerjaku. Namanya Indri.

"pagi juga" balasku.

Kami bersedia untuk bekerja. Seperti biasanya, aku bisa menyelesaikan tugasku dengan cepat. Karena pekerjaanku sedikit, aku berniat untuk membantu Indri. Dia dengan senang hati menerima tawaranku.

Setelah membantu Indri, aku merasa haus. Akhirnya aku pergi ke pantry untuk mengambil minuman.

"eh, kamu yang tadi pagi ya?" tanya seseorang yang membuatku tersedak minuman.

"eh, maaf mbak. Saya tidak sengaja" ucap orang itu yang ternyata adalah pak Arman, office boy disini.

"tidak apa-apa pak. Hanya tersedak saja kok" jawabku sopan.

Setelah itu aku pamit pergi dengan pak Arman dan kembali ke meja kerja. Indri sampai heran mengapa aku lama sekali. Aku pun harus menjelaskannya dulu dan harus rela ditertawakan olehnya.

***

Satu bulan telah berlalu sejak kedatangan pak Arman di kantor. Tetapi, aku curiga atas kehadirannya di kantor ini. Bagaimana tidak, orang yang paling sering berbicara dengannya hanya aku saja. Sebenarnya aku takut karena tatapannya kepadaku berbeda dibanding ketika dia menatap orang lain. Memangnya aku siapa baginya sampai begitu?

Aku menjadi takut begini karena orang tuaku sekaligus kak Raffi belum kuketahui keberadaannya. Kalau saja ada orang yang menatap seperti itu, aku takut kalau itu ayah. Aku takut dia akan benci kepadaku dan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukannya kepada kak Raffi. Dan, aku takut dia adalah orangnya.

"kak, aku sudah di depan kantor." ucapku dengan kak Raffi di sebrang telepon.

Ya, aku memang memanggilnya kakak setelah tau kebenaran tentang kami. Rumah kami juga bersebelahan. Kenapa bersebelahan? Itu karena dia khawatir kalau tinggal bersama aku akan takut terjadi apa-apa. Dia juga menjagaku sebagai perempuan. Dalam arti kata dia adalah kakak yang baik sekali.

"ya, aku sedang di jalan. Tunggu saja." jawab kak Raffi.

Setelah aku menutup telepon, pak Arman menyapaku. Aku hanya membalasnya dengan ragu-ragu.

"menunggu siapa?" tanyanya.

"kakakku, Pak. Dia menjemputku hari ini." jawabku.

"ohh. Tapi kantor sudah sepi. Bapak boleh menunggu sampai kamu pulang dulu kan?" tanyanya sambil tersenyum.

"ah.. Eh.. I.. Iya, Pak" jawabku gugup.

Ya Tuhan... Apa yang akan terjadi nanti? Rasanya aku ingin mati saja. Kondisi saat ini sungguh gila. Hanya ada aku dan pak Arman saja disini. Ditambah watakku yang penakut, aku semakin ingin pulang secepatnya.

Dan ketika aku sudah sangat cemas, datanglah sebuah mobil kearahku. Mobil itu berhenti dan pemiliknya keluar.

"ayo kak. Eh, pak, saya pulang duluan ya" ucapku dengan perasaan lega.

Namun, tidak ada jawaban dari keduanya. Mereka berdua adu tatap selama beberapa detik dengan pandangan yang saling tolak belakang. Kak Raffi memandang tajam sedangkan pak Arman menatap penuh penyesalan, entah apa yang salah pada mereka. Tidak lama kemudian tiba-tiba saja kak Raffi menarik tanganku segera untuk masuk ke dalam mobil. Setelahnya kak Raffi melajukan mobilnya menjauhi tempat tadi.

"ada apa kak? Kakak kenal dia?" tanyaku masih dalam keadaan bingung.

"kamu harus hati-hati dengan dia." jawab kak Raffi.

"jawab aku kak, dia siapa?"

"ayah." jawab kak Raffi setelah berfikir lama.

Aku sangat terkejut. Bagaimana bisa aku dan keluargaku dipertemukan kembali seperti ini? Siapapun yang melakukannya, aku berterima kasih.

"tapi kak, dia tidak seperti-"

"kamu diam saja! Belum tentu dia benar-benar berubah!" bentak kak Raffi yang membuatku terdiam.

"aku minta maaf" kata kak Raffi setelah sampai di rumah.

"tidak apa-apa" jawabku lesu sambil berjalan masuk kedalam rumah.

***

"Fera, aku ingin kerumahmu sekarang" ucapku kepada Fera di sebrang telepon.

Setelah disetujui, aku pergi diam-diam tanpa memberitahu kak Raffi. Aku ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya. Cerita, mungkin hanya itu yang akan membuatku lega. Walaupun bukan kepada Andini lagi.

***

"Fera, aku bingung. Di satu sisi aku ingin sekali bertemu orang tuaku. Tetapi, mengingat kondisi kak Raffi dulu, aku jadi ragu"

"kamu sudah lihat bagaimana keadaannya sekarang? Kamu pasti bisa menilai bahwa dia sudah beeubah atau belum kan? Mengapa tidak kamu awali dengan memperhatikannya dulu? Kalau kamu yakin, cari waktu yang tepat untuk bicara bertiga saja."

"benar juga, aku selama ini memperhatikan pandangannya kearahku. Dan itu benar-benar tatapan tang berbeda. Terlebih lagi ketika dia melihat kak Raffi. Seperti orang yang berharap dimaafkan. Aku jadi bingung kepada siapa aku berpihak..."

"Novia, ingat, kamu tidak berpihak pada siapapun. Kamu berpihak pada dirimu sendiri, bukan kepada kakak atau ayahmu. Kalau salah satu diantara mereka salah, kamu berhak untuk membenarkannya dan mempersatukan hubungan kalian kembali."

Ucapan Fera itu membuatku tersintak. Sepertinya aku kehilangan akalku sehingga befikir seperti itu saja tidak bisa. Tapi, Fera benar. Aku hanya akan membuat pilihanku sendiri dan membenarkan apa yang kuanggap benar. Dan mulai besok, akan kupersiapkan diriku menghadapi semuanya.

We Are Together Forever [COMPLETE] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang