--------------------
"Akan selalu ada pertemuan bahagia, atas senyum yang menggaris di bibir manisnya. Namun, akan menjadi sebuah malapetaka atas pertemuan yang tidak menyenangkan."
--------------
***
Oktober 2010.
Hujan masih saja menyelimuti bumi. Matahari yang seharusnya terlihat, kini bersembunyi dibalik awan gelap di atas sana. Aku sekali lagi melihat jam di lenganku. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat sepuluh. Celaka! Aku sepertinya akan kena hukum lagi –pikirku.
Lima menit berlalu, hujan perlahan berubah menjadi rintik-rintik. Kuputuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan. Tatkala aku berjalan hampir dua kilometer, aku melihatmu dari kejauhan. Kupastikan itu kamu. Kamu yang sedang mengenakan payung berwarna merah hati, berjalan menuju gerbang sekolah.
Kulihat lagi, kamu melemparkan sapa dan senyum pada setiap orang yang kamu temui. Sungguh, begitu ramahnya kamu pada setiap orang. Sikap itulah yang membuatku semakin menyukaimu. Meski sebenarnya, aku belum pernah bertatapan langsung denganmu.
"Celaka! Kenapa aku malah berhenti. Sial."
Aku berlari menuju gerbang yang sepertinya sebentar lagi akan ditutup oleh Pak Murod –petugas keamanan sekolah.
"Pak.. pak... jangan dulu!" pintaku tergesa-gesa.
"Kamu lagi, kamu lagi..." wajah Pak Murod terlihat masam.
"..untuk kali ini, tidak bisa!" tegasnya.
"Pak, saya terjebak hujan. Wajar kalau saya telat..." aku memelas sekali lagi.
"...ayolah pak, pliss..."
Bersikukuh aku memohon agar dibolehkan masuk. Pak Murod yang melihat ekspresiku untuk memohon, kini iba terhadapku dan dibukakan gerbang itu lalu memperbolehkan aku masuk.
"Terima kasih pak.." kulemparkan senyum lalu berlari menuju kelas, ia hanya menjawab dengan dehaman singkat.
Aku tidak melihatmu lagi, mungkin kamu telah sampai lebih dulu. Tatkala aku mengetuk pintu kelas lalu membukanya, telah berdiri seonggok daging besar dan cukup tinggi, dengan kumis tebal yang menjalar di atas bibirnya sambil bertolak pinggang dan menatapku tajam.
"Telat lagi..?" tatapan matanya tajam.
"Eee.. iya pak.." aku menjawabnya gugup sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
"Cepat, berdiri di samping temanmu itu!" pintanya lalu ia berjalan ke posisi tengah.
"Jangan contoh kedua teman kalian ini!" seru Pak Malik pada murid-murid yang lain.
Nissa? Loh dia kena hukum? –kataku lirih, setelah menyadari dia sedang berdiri di depan kelas.
Ternyata Nissa juga kena hukum oleh pak Malik –guru Bahasa Indonesia sekaligus sebagai wakil kesiswaan, yang dianggap tegas dan taat hukum. Jika ada murid yang tidak menaati aturan yang ditetapkan, maka beliaulah yang turun tangan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, pastinya selalu dengan hukuman.
Tatkala aku berdiri di sampingnya, aku hanya bisa melempar senyum tanpa ada sepatah kata sedikitpun. Ia membalas senyumanku, lalu menunduk. Pak Malik masih saja asyik mengoceh pada murid-murid lainnya, dan kami berdua-lah yang menjadi bahan ocehannya. Aku tidak menyimak sama sekali apa yang beliau katakan. Hatiku seperti mengatakan dua hal: Gundah –karena kena hukuman untuk yang kesekian kalinya. Yang kedua ialah: Senang –karena ini kali pertamanya aku bisa sedekat ini denganmu, kamu yang selalu aku perhatikan hanya dari kejauhan. Meski aku masih belum berani untuk memulai percakapan lebih dulu, setidaknya aku berani untuk melemparkan senyum lebih dulu daripada dirimu.
KAMU SEDANG MEMBACA
NASUHA (relakan aku pergi tuk ciptakan jati diri yang lebih baik lagi)
Teen FictionSebuah kisah yang menceritakan tentang seorang pemuda yang bernama Muhammad Nasuha Ramadhan. Yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari keluarga sederhana yang tinggal di Ibu Kota Jakarta. Keluarga mereka awalnya baik-baik saja. Suatu keti...