-------------------------------
"Akhirnya, kamu dan aku semakin dekat. Dan sedekat ini, aku seperti bisa merasakan juga mendengarkan degupan jantung-mu."
--------------------
***
Januari 2014.
Kala itu, Januari dihiasi oleh musim penghujan. Tepat pukul lima empat puluh lima pagi, aku telah siap untuk bergegas menuju sekolah. Tapi sayangnya, aku mesti menunggu butir-butir hujan berhenti terlebih dahulu. Langit terlihat gelap kala itu. Angin kencang, dan suhu terasa dingin.
Sebuah panggilan masuk melalui telepon genggam milikku berdering, tertera nama dilayar adalah namamu. Kuterima panggilan itu dengan telapak tangan yang mendingin.
"Iya, kenapa?"
"Kamu di mana? sudah jalan?"
"Belum, aku masih nunggu hujan reda.." jawabku sedikit menggigil.
"Nggak ada jas hujankah..?" suaranya penuh cemas.
"Ada, tapi anginnya kencang, kamu masih bisa tunggu sebentar lagi?"
Dia mengamini, sambungan terputus setelah beberapa kalimat dariku. Aku meratapi hujan yang amat deras dari belakang pintu. Pintu terbuka lebar begitu saja dan menyebabkan tampias yang memasuki ruang tamu.
Hujan kali ini menyebalkan. Aku benci hujan, tapi aku juga menyukainya. Sebab, hujanlah yang menyatukan aku dengan kamu kala itu. Aku masih ingat, tatkala aku memboncengmu dengan sepeda keranjang milikmu, sepulang sekolah di zaman SMP dulu.
***
Peristiwa itu terjadi sekitar bulan November 2010.
Saat itu, bel pulang sekolah berbunyi. Biasanya, saat pulang tiba, kebanyakan murid-murid terburu-buru untuk segera bergegas pulang. Apalagi jika dihari senin. Namun tidak untuk senin kali ini. Sebab, hujan masih saja bertengger untuk terus membasahi bumi. Angin kencang yang membuat pohon bambu di pinggiran pagar pembatas antara sekolah dengan perumahan, yang berada di kanan gedung sekolah pun, turut bergoyang-goyang.
Mataku, lagi-lagi tidak lepas untuk senantiasa memandangimu. Kita kala itu belum terlalu dekat, meskipun kita pernah dihukum bersama untuk membersihkan masjid. Aku masih canggung untuk berbicara denganmu. Ingin memberanikan diri untuk mendekat pun, sulit. Kamu selalu dikelilingi oleh teman-temanmu yang terbilang angkuh.
Selang beberapa saat, kamu melepaskan tas yang ada di pundakmu, lalu dengan gembiranya kamu membasahi diri menuju lapangan. Mengambil sepeda keranjang warna merah milikmu dan melihat ke sekeliling koridor –sepertinya kamu sedang mencari seseorang.
"Suha!! Ayo ikutan!"
Sontak aku kaget, saat kamu melihatku dan memanggil namaku. Jantungku berderik kencang, tak menyangka jika yang kamu cari adalah aku. Sorak suara teman-teman yang lain, kompak menyuarakan satu kata, yaitu 'cieee'. Dan aku malu bukan kepalang.
"Suha... ayo sini.."
Kamu meminta sekali lagi. Tanpa pikir panjang, kulepas tas yang ada pada pundak, lalu menyusulmu ke tengah lapang. Hujan mulai membasahi seragam putih-biru yang kukenakan, hingga akhirnya membasahi seluruh tubuhku. Tatkala aku dekat denganmu, aku diam, entah apa yang harus aku perbuat.
"Ih, kok diem? Ayo setir, kita mandi ujan sambil jalan-jalan."
Aku mengangguk dan segera naik di bangku kemudi. Kupegang setang sepeda tersebut, kakiku ancang-ancang untuk menggowesnya. Saat tenaga sudah terpusat di telapak kaki, kugowes sepeda itu dan melaju pelan. Kamu yang duduk di bangku penumpang, teriak kegirangan. Dilentangkannya kedua lenganmu dengan ekspresi bahagia. Perlahan sepeda melaju cepat, menuju lapangan utama –lapangan yang letaknya di depan masjid dan lebih besar dari lapangan sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NASUHA (relakan aku pergi tuk ciptakan jati diri yang lebih baik lagi)
Teen FictionSebuah kisah yang menceritakan tentang seorang pemuda yang bernama Muhammad Nasuha Ramadhan. Yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari keluarga sederhana yang tinggal di Ibu Kota Jakarta. Keluarga mereka awalnya baik-baik saja. Suatu keti...