“Kata Ayah: Suha, jika besar nanti, lalu kamu mendapati wanita yang kamu cintai, carilah yang benar-benar bisa menerimamu. Bukan hanya soal harta, tapi soal hati. Jangan sampai kamu hanya dijadikan pelampiasan belaka, lalu ditinggal ketika sudah tiada rasa.”
-----------------------------***
November 2012.
Malam itu Ayah pulang, seperti biasanya, aku langsung menghampirinya serta menyalimi punggung tangannya yang dilapisi oleh sedikit peluh. Dia senantiasa tersenyum saat pulang ke rumah. Baginya, rumah adalah kebahagiaan yang tak tertandingi dari apapun. Meski rumah kami terlihat sederhana juga kecil, itu bukanlah masalah. Jadi, saat telah sampai di sana, jangan ada keributan sama sekali, meski masalah menumpuk di kepala, jangan luapkan, cukup berikan saja senyuman. Toh, lambat-laun masalah akan terkikis.
Malam itu, Ayah dan Ibu mengobrol di ruang tamu. Disuruhnya aku untuk segera pergi ke kamar. Ruang tamu lengang. Ayah menghela napas terlebih dulu, lalu mulai bicara pada Ibu.
“Ayah dipecat.”
Aku hanya mendengar kalimat itu dari bibirnya, yang kudengar dari balik pemisah antara kamarku dan ruang tamu, yang jaraknya bersebelahan. Aku tidak mendengar kalimat apa-apa lagi dari mulut Ibu juga Ayah. Kuputuskan untuk tidur malam itu.
Ayah, sungguh kamu adalah laki-laki yang kuat juga tegar. Kamu masih bisa memberikanku senyum malam itu. Padahal, malam itu kamu membawa kabar buruk di pundak. Ayah, aku salut padamu.
***
Suatu pagi di hari selasa.
Aku sudah siap untuk segera bergegas ke sekolah, setelah semua kurasa tidak ada yang tertinggal. Aku pun pamit. Kulihat, Ayah sedang bersantai di ruang tamu, sambil mengisap rokok di mulutnya.“Mau berangkat?” aku mengangguk saja.
Sebenarnya, aku ingin menanyakan kepada Ayah, mengapa ia tidak berangkat kerja. Tapi, aku sudah tahu jawabannya. Dan pasti jika kutanyakan, akan menyulut hatinya.
“Ayah antar ya..” Aku mengangkat alis juga sedikit bergumam.“Ah, tenang aja. Ayah lagi nggak sibuk kok. Ayah lagi males kerja aja, besok juga kerja lagi.”
Seperti membaca pertanyaan yang ada di hatiku, ia menjawabnya begitu saja. Aku pun sepakat untuk diantar olehnya.
Saat aku duduki bangku penumpang lalu motor melaju kencang, Ayah berpesan padaku, katanya, “Suha, jika besar nanti, lalu kamu mendapati wanita yang kamu cintai, carilah yang benar-benar bisa menerimamu. Bukan hanya soal harta, tapi soal hati. Jangan sampai kamu hanya dijadikan pelampiasan belaka, lalu ditinggal ketika sudah tiada rasa.”
“Maksudnya yah..?”
“Cukup kamu ingat-ingat aja pesan Ayah ya.” Aku mengernyitkan alis.
“Tunggu yah...” Dia berdeham sesekali menengok sedikit ke belakang. Aku membalikkan tasku dan mengambil buku tulis.“Aku udah siap nih yah, apa tadi kata-katanya..?” kataku menyiapkan alat tulis juga selembar kertas yang kusobek dari buku yang kuambil barusan.
Dia terbahak.***
Suatu hari di tahun 2013.
Sepulang dari kegiatan MOPD, aku dan Nissa pulang bersama. Kutunggu dia di depan gerbang sekolah. Sambil menunggu dia yang masih ada di kelasnya untuk bersiap-siap pulang, aku mengambil sebuah novel yang kubawa di dalam tas. Saat ingin mengambilnya, kulihat ada selembar kertas yang sedikit kusam. Kuambil kertas itu. Tertulis di kanan atas kertas, Selasa 13 November 2012. Yang merupakan pesan dari Ayah di atas motor kala itu. Kubaca kembali dan kupahami makna kalimat itu baik-baik.
“Oh gitu maksudnya!” kataku tidak pada siapa-siapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
NASUHA (relakan aku pergi tuk ciptakan jati diri yang lebih baik lagi)
Teen FictionSebuah kisah yang menceritakan tentang seorang pemuda yang bernama Muhammad Nasuha Ramadhan. Yang merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dari keluarga sederhana yang tinggal di Ibu Kota Jakarta. Keluarga mereka awalnya baik-baik saja. Suatu keti...