Ruang musik adalah salah satu tempat yang membuat Langit tidak pernah bosan berkunjung kesana. Selalu ia sempatkan untuk singgah walau sekedar bermain piano atau tidur kala dia bosan mengikuti pelajaran dengan alasan pamit ke kamar mandi. Seperti saat ini kesepuluh jarinya dengan mahir menekan tuts piano dengan irama acak, namun entah bagaimana malah menghasilkan melodi yang indah saat didengar. Matanya terpejam dengan kepala yang agak mendongak keatas menikmati suasana yang tenang.Alunan nada yang ia buat mengingatkan tentang kenangan- kenangan manis yang selalu saja berhasil menyusup kedalam memori otaknya saat ia bermain musik. Itulah salah satu penyebab Langit suka memainkannya. Perlahan ia bisa merasakan rasanya bahagia walaupun hanya semu. Sebelum semuanya berakhir.
Krieet..
Decitan pintu yang dibuka otomatis membuat jari tangan Langit menghentikan permainan lihainya, Langit membuka mata dan melihat kearah pintu. Benar saja dugaannya. Kepala Amar yang muncul dibalik pintu yang baru sedikit dibuka disusul dengan kepala Ano diatas kepala Amar.
"Ngapain?"
"Disini ternyata, gue sama Amar nyariin dari tadi, mau minta uang buat makan," Ano menyahuti pertanyaan Langit sembari berjalan kearah piano.
Langit memperlihatkan muka sebalnya, "Minta uang buat makan? Lo kira gue bapak lo apa," Dia menjulurkan tangannya menjitak kepala Ano yang kini duduk disampingnya.
Suasana yang semula tenang mendadak menguap entah kemana. Suara gelak tawa terdengar nyaring dari dalam ruang musik. Begitulah mereka, selalu rusuh saat sudah bertemu.
Amar menaruh sekotak bekal yang ia bawa didepan Langit dan Ano juga dirinya. Ya, mereka bertiga duduk bersama di lantai. "Nih makan, tadi mama masakkin lebih buat dibagi sama kalian katanya," ucap Amar yang kemudian membuka kotak bekalnya.
"Tumbenan lo bawain makanan, biasanya juga lo yang minta makan," ejek Langit.
"Udah deh ah lo diem aja, lagi baik ini gue, nanti gue berubah pikiran," tukas Amar.
Langit nampak termangu saat suapan pertamanya dikunyah, sejenak perasaan rindu menyusup kedalam hatinya saat dulu mamanya rutin menyiapkan bekal untuknya. Setelah dipikir dulu saat semua belum berubah hidupnya sangat indah.
"Kenapa??"
Langit terdiam, "Langit? Lo kenapa? Kesambet setan apaan lo?"
Tangan kanan Amar sudah mendarat dengan indah di bahu Ano, "Ngawur lo, didatengin sama penunggu sini baru tau rasa."
Langit tersadar dari keterdiamannya yang membuat kedua orang didekatnya bingung, "Enggak papa, gue cuma kangen sama masakan rumah, mama gue kan jarang masak hehe."
Ano dan Amar saling bertatapan, sejenak merasa kasian dengan Langit. Membayangkan jika mereka menjadi Langit saja sudah membuat pusing, "Lo yang sabar, jangan ngerasa sendirian, kita disini ada buat lo kalau ada apa-apa jangan sungkan buat bilang, kita siap bantu," Amar mengusap punggung Langit.
"Noh di rumah, mami gue kalau masak banyak banget, sering sering aja main ke rumah gue kalau lo laper, ga bakal abis makanan di rumah gue," tambah Ano yang langsung membuat Langit tersenyum tipis.
"Gue tadi liat Pelangi digodain Gilang didepan kelas."
Langit langsung menatap Ano. Tanpa menunggu lama Langit langsung beranjak pergi, namun Amar dengan cepat segera menahannya, dia menarik ujung seragam Langit agar kembali duduk.
"Mau kemana si ni anak onta, diem dulu disini aja kenapa, makan dulu, lagian ngehajar orang juga butuh asupan," titah Amar.
"Ngomong-ngomong lo tau dari mana kalau yang ngegodain Pelangi tadi namanya Gilang??" lanjut Amar.
