4. Pacar Baru

49 4 0
                                    

ARVAN

______________________________

KERICUHAN yang berasal dari  kelas XI-IPA 3 membuat sebagian besar murid kelas 11 penasaran akan apa yang sedang terjadi. Kantin kelas 11 yang tadinya ramai karena dipenuhi murid yang sedang mengisi perut kini mendadak sepi pengunjung. Mereka semua merubah haluan kaki menuju IPA 3. Suara hentakan sepatu saling bersahutan di tengah koridor.

Bak tentara yang sedang baris-berbaris para murid terutama perempuan berjalan kompak menuju sumber kericuhan. Keadaan sangat kacau dan tak terkendali makin membuat siswa ataupun siswi yang semula tidak penasaran menjadi kepo.

Suara siulan dan ciye semakin keras dan saling bersahutan. Itu semua karena ulah sang pangeran yang menerima cinta Ketua Eskul Teater yang baru saja menyatakan cinta untuknya. Apalagi ditambah saat sang Ketua Ekskul Teater memeluk erat Arsen, keadaan pun makin tak terkendali.

“Arsen aku senaang banget! Kamu mau nerima aku jadi pacar kamu,” ucap Mauren.

“Iya, gue juga senang,” balas Arsen disertai senyuman tipis di wajahnya.

CIYEEE!! PJ, DONGG!!” teriak Gerald bersemangat.

“PJ! PJ! PJ! PJ!” teriak kompak anak IPA 3 yang sedari tadi menonton kejadian itu.

“Tenang aja lo semua gue traktir makan di kantin sepuasnya!” ucap Mauren setelah mengurai pelukannya.

Suara gaduh makin menjadi-jadi kini semua murid berlomba-lomba berlari ke kantin untuk mendapatkan makanan gratis. Memang kalau sudah gratis maka sudah dipastikan lagi tidak ada yang melewatkan itu.

Vanya yang sejak tadi berdiri di pojok pintu pun merasa bahwa hatinya telah remuk. Vanya sakit hati karena Arsen menerima cewek lain tetapi tidak dengannya. Badannya kini merasa dingin dan lemas. Ia merasa tidak sanggup berjalan ke kelasnya. Pandangannya jatuh ke depan, tatapannya kosong seperti tidak ada yang dipikirkannya.

Arsen merangkul bahu Mauren dengan mesra. Cowok itu tidak memperdulikan pandangan orang lain yang menyebutnya playboy cap kakap. Karena memang itulah kenyataannya, ia belum bisa menghargai perempuan karena ulah bundanya.

“Van! Vanya! Ayo, Van, kita balik ke kelas!” ajak Feby pada Vanya yang masih menampakkan tatapan kosong.

Safira mengguncang-guncangkan lengan Vanya. Gadis itu berusaha menyadarkan Vanya dari lamunannya. “Van, ayo! Kita balik ke kelas aja. Tuh, kan lo si Feb, gue kan udah bilang jangan di-iyain permintaannya Vanya ke sini!” omel Safira pada Feby.

“Aduuh, gue mana tau ternyata yang bikin heboh itu si Arsen!”

“Van, ayo kita balik! Keburu Pak Bambang datang!” Safira terpaksa menyeret Vanya karena Vanya sudah seperti kehilangan semangat.

“Saf, Feb,” lirih Vanya.

“Gue emang nggak pantes ya buat Arsen?” sambungnya.

“Enggak gitu, Van. Lo pantes kok, malah menurut gue yang seharusnya ngomong gitu tuh si Arsen! Gue rasa cewek sebaik lo nggak pantes bersanding sama cowok nakal kayak Arsen!” cerocos Safira.

Vanya makin murung mendengar jawaban Safira. Vanya tidak memperdulikan hal itu, mau Arsen nakal, playboy, dan tempramental ia akan tetap menyukai cowok itu. Tapi, yang ia butuhkan kepedulian dan rasa menghargai dari Arsen.

ArvanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang