-Chapter 2-
----------------Dreamer------------------
"Why it's so hard to see you?.."
Sheryl Collin's POV.
"Ricky?."
Laki-laki itu tetap berjalan dengan tegap tanpa sedikitpun memperdulikanku.
"Apa maksudmu?!"
"Itu Ricky Justmine... Dia Ricky, kita harus mengikutinya!!" aku sedikit lepas kontrol, membuatku menarik tangan Justmine dengan cepat dan membuat gadis itu sedikit tersaruk karena mengikuti langkahku yang setengah berlari. Kami berlari menuju toko parfum yang baru saja dimasuki oleh Ricky, berharap jika aku bisa bertemu dengannya.
Benar saja, pria itu benar-benar Ricky, aku sudah yakin seratus persen tanpa keraguan sedikitpun. Bagaimana mungkin aku lupa dengan wajahnya yang masih benar-benar terekam dengan jelas dalam memoriku?. Pria itu tengah memilih-milih parfum, membuat beberapa gadis yang berada di ruangan itu menatapnya dengan tatapan kagum, termasuk aku. Aku merasakan sensasi yang berbeda dalam diriku, jantungku terasa berdebar lebih cepat, membuat aliran darahku naik dan dalam hitungan detik wajahku sudah berwarna merah padam. Entahlah.. Mungkin ini perasaan jatuh cinta pada pandangan pertama?, atau karena aku jatuh cinta?. Kurasa sebaiknya aku langsung mendatanginya, mengatakan semua yang aku rasakan padanya.
Aku tertawa geli kerena membayangkan hal tersebut. Tanpa berpikir panjang aku melangkahkan kakiku untuk menemuinya, sebelum akhirnya sebuah lengan kecil menahan tubuhku, membuatku menoleh dan memberikan tatapan penuh tanda tanya pada gadis itu.
"Apa yang kau lakukan?"
Aku mendengus, "Aku ingin menemuinya Justmine, kapan lagi aku bisa bertemu dengan Ricky!!"
"Lalu kau akan langsung mengungkapkan perasaanmu padanya, begitu??"
"Tentu saja, memangnya apa lagi yang bisa kau harapkan?"
"Sudah kutebak, kau gila!! Berhentilah bersikap ceroboh!! Apa yang sudah kau pikirkan?, apa kau ingin menjatuhkan harga dirimu dengan mengatakan hal itu??" Justmine melotot padaku, seakan benar-benar tidak percaya terhadap apa yang akan kulakukan.
"Ayolah Justmine, kita tidak bicara mengenai harga diri, ini kesempatan emas bagiku."
"Kau benar-benar gila, aku tidak akan pernah membiarkanmu mempermalukan dirimu sendiri!!".
"Calm down Justmine, aku tahu apa yang kulakukan"
"Tap--" kalimat Justmine terputus saat aku melihat Ricky melangkahkan kakinya keluar, membuatku langsung memanggilnya, berlari kepadanya tanpa menghiraukan Justmine.
"He-hey, tunggu!! Kau, tunggu aku."
Langkahnya berhenti tepat sebelum dia menyentuh gagang pintu keluar. Aku langsung berlari menyusulnya, mengatur nafasku agar kembali stabil, dan memberanikan diri untuk menatap matanya. Pipiku kembali bersemu merah saat dia balas menatapku, meski tatapannya terkesan tidak punya ekspresi apapun.
Aku menghabiskan 10 detik pertama untuk berpikir, membiarkan suasana hening yang berkuasa."Umm.. Kau tadi mencelakaiku." Aku berbicara dengan nada yang lembut, entah kenapa tiba-tiba hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulutku.
Dia hanya mengangkat sebelah alisnya sambil terus menatapku tanpa ekspresi.
"Umm.. Kau harus bertanggung jawab" aku masih menggunakan nada lembut.
Kali ini dia mengangkat kedua alisnya, hanya mengangkat kedua alisnya, tanpa disertai dengan ekspresi apapun.
Aku mulai kehabisan kata-kata, ya Tuhan.. Apa yang harus aku lakukan?? Aku hanya menghabiskan 30 detik berikutnya dengan merutuki diriku, hingga akhirnya sebuah kalimat kembali terucap dengan sendirinya dari bibirku, "Apa kau bisa bicara??"