Dibalik rasa gengsi yang setara dengan ketinggian gunung Everest, ada hal yang ingin dilakukan Lee Jeno pada Huang Renjun, sang rival sejati.
—————————
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sejak dulu, Lee Jeno menganggap Huang Renjun sebagai rivalnya.
Jelas saja, keberadaan cowok kalem bertubuh mungil itu benar-benar menjadi ancaman bahkan sejak hari pertama Renjun dikenalkan sebagai murid baru di kelas Jeno saat itu, kelas lima SD. Huang Renjun mengalahkan Jeno—si murid teladan serba bisa—dalam berbagai aspek. Peringkat satu paralel yang selalu ia raih tanpa bersusah payah terpaksa harus tergeser gara-gara Renjun yang dengan mudahnya mengambil alih posisi Jeno. Belum cukup sampai di situ, Renjun juga mengalahkan rekornya dalam tes lari (padahal perbedaan waktu mereka hanya nol koma sekian detik, tapi Jeno yang ingin unggul dalam segala hal jelas tidak bisa terima). Saat pemilihan ketua kelas pun Jeno kalah suara dari Renjun, yang membuatnya harus puas denganhanya menyandang jabatan sebagai wakil ketua kelas.
Dan alasan itulah yang membuat Jeno mendeklarasikan persaingan sepihak dengan Renjun. Iya, sepihak, karena si manis Huang Renjun sama sekali tidak peduli.
"Pokoknyamulaisaatinikauadalahrivalku!"
"Hmm? Ya sudah, terserahkausaja."
(Sungguh kasihan sekali Lee Jeno. Bahkan orang yang ia anggap rival tidak mengakuinya.)
Tapi kendati demikian, si kecil Jeno sudah bertekad akan terus mengikuti Renjun hingga ia dapat mengalahkan cowok itu, baik dalam segi akademik maupun non-akademik.
"Heh, kecil! Kau mau melanjutkan sekolah ke mana?"
"Namaku Renjun, Jeno-ssi. Dan aku mau melanjutkan ke SMP Yongsan."
