Prolog

105 4 9
                                    

      Akhir pekan adalah hari yang paling sibuk di Omoteshizu. Kedai kopi tersebut bahkan sudah ramai oleh pengunjung sejak satu jam yang lalu. Tempat itu terlihat mungil, kontras dengan dua bangunan yang mengapit di sisi kanan dan kirinya. Meski letaknya hampir di ujung gang,  Omoteshizu cukup populer di kawasan Ropponmatsu, Perfektur Fukuoka.

    Dari jendela besarnya, terlihat dua barista sedang meracik beberapa pesanan sedangkan dua pramusaji lain tampak mengantarkan mug kopi ke meja-meja di dalam kedai.

    Interiornya yang dibuat sesuai dengan gambaran warna mesin espresso menjadi daya tarik tersendiri. Dindingnya berwarna dasar hitam putih dari bahan kayu yang bernuansa chic membuat para pelanggan merasa nyaman. Mereka bisa menikmati alunan musik dari stereo yang dipasang pada setiap sudut kedai dan menyesap kopinya perlahan.

    Di balik tatanan mesin espresso ada Kawaguci Haruka, barista senior di Omoteshizu yang hari ini kelihatan kurang sehat. Haruka memijat sejenak pelipisnya untuk meringankan migrain yang sejak tadi siang menyerang.

    Yamato Mizuki, barista junior Omoteshizu melihat sekilas aktivitas  Haruka, ia pun bertanya, "Apa kau sakit, Haruka-senpai?"

    "Daijoubu desu. Aku cuma kurang istirahat," jawab Haruka sekenanya. Ia memusatkan kembali perhatian pada flat white pesanan pengunjung. Setelah itu, Mizuki urung bertanya lebih lanjut karena di belakang terdengar suara pantofel berderap. Mereka berdua tahu siapa pemiliknya.

     Matsunaga Hiroshi berjalan pelan penuh kewibawaan. Kedua tangan terselip di saku celana panjangnya yang berwarna cokelat muda serupa jerami padi  kering. Orang tua bermata sipit itu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kedai.

    "Aku dan Mizuki bisa menangani ini semua. Jangan paksakan diri kalau kau sedang tidak sehat," kata Hiroshi sambil berjalan ke bar. Pria separuh baya dengan kacamata bundar itu maju ke sisi kanan Haruka dan mengambil alih tempatnya.

    "Hiroshi-san, aku baik-baik saja," ucap Haruka sebelum menaruh secangkir flat white di baki kayu.

    "Pergilah dan kembali lagi setelah 20 menit." Hanya itu pesan Hiroshi pada Haruka. Ada jeda beberapa detik sampai pria muda itu mengerti. Ia mengangguk dan mengulas senyum tanda terima kasih. Haruka berbalik, melepas apron merah bata dan menggantungnya di sudut bar.

    "Tubuh Haruka memang utuh tapi pikirannya berserakan," bisik Hiroshi pada Mizuki setelah langkah Haruka menghilang. Mizuki hanya bisa tersenyum penuh keprihatinan.

Haruka duduk lemah di lantai kayu berukuran tiga puluh meter persegi dengan aroma kopi yang masih  tercium jelas. Ia belum sepenuhnya mengantuk karena pikirannya masih  berkeliaran. Untuk sesaat, panik merayapi hatinya.

     Rasa sesak timbul ketika satu per satu kenangan, tentang perempuan itu kembali menerobos ingatannya. Ia tahu ada hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan. Seperti mengenang seseorang, lalu terjebak nostalgia untuk sekadar menyebut namanya.

      Jantung pemuda itu berdebar kencang saat tahu kalau nama tersebut masih mempunyai efek mematikan. Beberapa potong kenangan memecah pikirannya.
Waktu itu, pandangan Ayumi menerawang dan mengulaskan sebuah senyum yang hanya dapat diartikan oleh Haruka sebagai kesedihan.

      "Haruka-kun,  bahagia itu rasanya seperti apa?"  tanya Ayumi.

     Haruka mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Itu pertanyaan yang sulit."

   "Apa seperti memakan ramen terenak di dunia? Atau seperti berhasil menang lotre berjuta-juta yen?" terka Ayumi sambil membuka jari-jarinya, membentuk hitungan berurutan untuk setiap jawaban yang mungkin saja menjadi definisi rasa bahagia.

    Haruka memandanginya dan berpikir sebentar sebelum melanjutkan kegiatannya membersihkan bar table-nya.

   "Yah, aku tidak tahu. Bahagia menurut setiap orang pasti berbeda-beda. Kenapa bertanya begitu?"

    Ayumi balik memandangi wajah Haruka dengan cermat. Mengingat setiap detail yang harus ia simpan; mata teduh, nuansa kekuningan di kulitnya, bentuk hidung yang sempurna.

    "Apakah bahagia itu seperti sekarang? Kau dan aku bersama menghabiskan waktu di Omoteshizu?

    Haruka tersenyum sinis. Ia membenci perasaannya yang saat itu sama sekali tidak tahu bagaimana jatuh cinta dan  patah hati.

    "Karena semua mimpiku pada akhirnya akan diwujudkan orang lain."

    Setelah pesan singkat itu, semuanya berakhir. Tidak ada pertemuan apa lagi salam perpisahan. Dalam situasi seperti ini, Haruka merasakan dorongan untuk membual bahwa semua baik-baik saja. Atau lebih tepatnya berusaha untuk baik-baik saja.

    Pedih bagi Haruka menyukai seseorang sehebat yang dirasakannya.
Ia takut kalau perasaannya selama ini hanya semacam lelucon jahat dan sekarang rasa itu seperti Ayumi telah mencerabut jantungnya saat masih berdenyut.

     "Ayumi," ucap Haruka meringis menahan rasa sakit di ulu hati. Tubuh Haruka bersandar pada loker alumumium berderet empat. Rasa dingin menjalar di area punggungnya disusul sepasang mata yang mengedip intens menatap panel-panel neon di atas kepala. Kesadaran mulai  turun dan kantuk menguasi tubuhnya.

Haruka terbangun pukul lima sore saat kedai bertambah ramai. Rasanya dua puluh menit itu kurang dan sekarang Haruka harus kembali pada pekerjaan di kedai. Haruka bangkit, menggapai knop pintu di belakangnya dan keluar dari ruang loker tersebut kemudian belok kanan menuju westafel karyawan. Ada Hiroshi juga di sana.

   "Hei, Haruka. Aku rasa kau harus pergi bersama teman-temanmu. Menikmati malam dan bersenang-senang. Semacam itulah!" Seruan Hiroshi membuatnya agak kaget. Haruka mengambil posisi di sebelahnya, belum berniat menanggapi omongan Hiroshi tapi sudut bibirnya terangkat, pantulan wajah itu  tercetak pada cermin di hadapan mereka.

     Haruka merasakan sengatan pada kalimat-kalimat Hiroshi. Menikmati malam dan bersenang-senang pernah ada dalam hidupnya ketika bersama Ayumi beberapa bulan lalu. Segera ia membasuh wajah sebelum ingatan-ingatan lain mengusiknya lagi.

    "Kau tahu Hiroshi-san?  Aku tidak keberatan kalau diberi waktu untuk lembur. Rasanya tidak terlalu buruk. Aku akan menyukainya dan  berpikir untuk membuat satu kamar di atap," usul Haruka disambut pelototan tajam Hiroshi-san.

    Karyawannya yang satu ini memang agak aneh dan tidak normal, "Jangan macam-macam!" tolak Hiroshi.

   "Kenapa? Aku akan menjual apartement  kalau boleh."

    "Hindari pikiran-pikiran seperti itu. Sebelum aku lupa, ada seseorang yang mencarimu di bar," ucap Hiroshi.

     "Siapa?"

     Hiroshi tidak menjawab pertanyaan Haruka. Pemilik kedai itu membalik badan sambil mengangkat pundaknya sekilas sebelum membuka pintu ruang kerja di sebelah kanan.

     Haruka hanya sekadar bertanya namun tidak tertarik pada orang yang mencarinya sore ini.
.
.
.
.
.

note:
1. Single shot ekstrak biji kopi dengan takaran 60ml setiap cangkir
2.  Keterampilan dan keanggunan
3. Pembuat kopi
4. Sebutan untuk kakak kelas atau senior.
5. Baik-baik saja
6.1/3 espresso dan 2/3 susu, tidak berbusa
7. Sebutan untuk seseorang yang lebih tua atau lebih dihormati
8. Meja yang belintang dibagian depan/belakang di sebuah kedai atau bar
9. Tempat mencuci tangan dengan tinggi bervariasi

OmoteshizuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang