LATTE ALLA ORANGE

34 1 8
                                    

Even bad coffee is better than no coffee at all.
—David Lynch

Haruka mendesus pelan untuk bunyi alarm ketiga yang bergema di kamar. Ponsel hitamnya tergeletak di meja kerja telah berulang kali meneriakan suara nyaring yang sama. Mundur dan terus mundur karena draf yang disusun tidak kunjung tuntas. Tepat pukul dua belas siang, Haruka menarik napas panjang dan mengembuskannya lega. Sedetik kemudian, pria itu menonaktifkan alarm dan mematikan laptop.

       Ia bangkit dari duduknya,  menegakkan punggung dan merentangkan kedua tangan lurus ke atas untuk merileskkan tubuh. Langkah kaki itu berderap pelan menuju balkon.

        Satu daun pintu yang terbuat dari kaca dibuka dan seketika embusan angin musim semi menyapu wajahnya lembut. Haruka menikmati moment itu untuk beberapa detik dan bayangan sakura mekar segera menjejali seluruh bagian otaknya. Sakura yang akan mekar sebentar lagi, menjelma payung-payung raksasa merah muda lalu terbang jatuh ke tanah.

        Haruka seperti mendapatkan  ilham.  Dengan gerakan tidak sabar ia kembali masuk kamar, menyambar sebuah pensil serta selembar kertas. Dua menit berlalu dan terciptalah sebuah komposisi untuk sebuah menu baru di Omoteshizu.
Sementara itu, ada beberapa lembar kertas resep kopi lain yang dipenuhi coretan terselip di antara map kuning. Setumpuk laporan penjualan bulanan telah ia selesaikan dua hari sebelumnya. Tapi sekarang, Haruka yang sudah mengantuk lebih memilih membawa tubuhnya ke kasur dibanding membereskan kekacauan di meja kerjanya.

        Menjelang pukul empat sore, Haruka terbangun dan bersiap pergi ke Omoteshizu. Pria itu mengambil sehelai kaus toner gray favoritnya dari lemari pakaian, memasangkannya dengan celana chino berwarna hitam.

        Sebuah padu-padan yang membuatnya terlihat sempuna. Mungkin itu menjadi salah satu alasan kenapa Omoteshizu tidak pernah sepi pembeli sejak hari pembukaannya dua tahun lalu. Haruka terlihat seperti magnet. Menarik lawan jenisnya dari segala arah penjuru. Prince Charming  mungkin tepat untuk Haruka yang selalu bisa membuat hati perempuan-perempuan meleleh seperti mentega yang dipanaskan di wajan.

        Hari semakin sore, Haruka bergegas pergi dari apartemennya menuju Stasiun Ropponmatsu.

"Mizuki, apa semua bahannya sudah siap?" tanya Haruka begitu sampai di Omoteshizu lima menit yang lalu. Sebelumnya ia sudah memesan pada barista junior itu agar membawa bahan yang diperlukan untuk  menu baru. Kebetulan, lokasi tempat tinggal Mizuki berdekatan dengan  swalayan.

        "Sudah siap, Haruka-senpai!"

        "Simpan dulu. Kita buat nanti kalau kedai tidak terlalu ramai."

        Haruka mengarahkan langkahnya ke dapur Omoteshizu sambil membawa belanjaan yang diserahkan Mizuki. Bahan-bahan itu diletakan pada kitchen set bercorak walnut muda, serasi dengan lantai-lantai kayu mahoni di bawahnya.

        "Kedai selalu ramai. Aku ingat betul, kalau tempat ini tidak terlalu ramai mungkin saat kau tidak masuk kerja, Haruka-senpai," ujar Mizuki. Tubuhnya beringsut menuju table bar di bagian depan yang lebih terbuka, ia bersiap menjalankan tugas bersih-bersih.

        "Benar juga. Kalau begitu, buat saja seakan-akan aku tidak masuk kerja. Tidak susah," kata Haruka. Sudut-sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman.

        "Kau akan sembunyi di atap atau di ruang  loker?" Suara Hiroshi menginterupsi percakapan Haruka dan Mizuki. Keduanya tidak kaget, hanya sedikit menyayangkan karena beliau datang di waktu yang tidak tepat.

OmoteshizuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang