Seharusnya sejak dulu aku tidak mengkhianati intuisi
"Jangan percaya pada rasa ingin tahu," katanya
Tapi ternyata membangkang itu terlalu menyenangkan
Untuk sekadar bermain-mainLampu jalan menyorotkan sinar keemasannya pada trotoar yang sunyi. Sepertinya sudah cukup larut untuk menemukan kendaraan yang lalu-lalang di jalan raya. Tapi untuk beberapa alasan, orang-orang seperti Ayumi harus rela pulang kerja sampai dini hari seperti sekarang. Sambil menenteng satu gelas Mocca yang masih utuh, ia berlari dan membiarkan pemandangan di sekitar berbaur. Lambat laun udara dingin mulai menusuk ke tulang-tulangnya.
Gadis itu terus melaju membiarkan rambut hitam sebahunya berkibar ditiup angin, langkah-langkah cepat dan tidak teratur membuat Ayumi harus berhenti sejenak untuk mengatur napas. Agak membungkuk, ia berusaha mengembalikan detak jantung ke batas normal. Sepasang manik hitam miliknya memastikan tidak ada pejalan kaki lain di jalur yang dilewati saat menyusuri trotoar, sekarang tersisa satu blok lagi untuk sampai di Ropponmatsu Station.
Ayumi melompat ketika sampai di depan pintu masuk dan tidak sengaja mengayunkan tas Tsuciya kaban(10)-nya, kemudian menarik tali serut tepat waktu sebelum benda berwarna ultramarine itu membentur pintu kaca. Sambil menyeimbangkan diri di sana, ia berusaha merogoh sesuatu di saku kiri belakang celana jeans dan berhasil meraba sebuah kartu yang terselip sobekan kertas. Dengan segera ia mengambil Sugoca(11)-nya lalu menempelkan benda pipih tersebut pada mesin bercat hijau di gerbang masuk stasiun.
Pandangannya tertuju ke segala arah ketika sudah berada dalam bangunan yang di dominasi warna hijau daun dan abu-abu. Kursi-kursi panjang cokelat muda berjajar sudah kosong, beberapa baris vending machine(12), dan sesuatu yang selalu ia suka adalah gambar-gambar pada dinding dan tangga stasiun. Ayumi tidak pernah merasa bosan meskipun memandanginya setiap hari.
Tiba-tiba ponsel berdering dan memaksanya merogoh ke dalam tas. Nama Suzuki Tomoya terpampang di layar, menggeser tombol hijau dan setelahnya suara pria itu terdengar seperti dari kejauhan sebelum Ayumi menempelkan ponsel di telinga."Ayumi?"
"Ya, ini aku," jawab Ayumi pelan sambil mengincar kursi di barisan depan. Sebuah drafting tube hitam bergaris biru ia turunkan dari pundak dan meletakkan benda tersebut tepat di sampingnya. Dengan agak kasar ia berupaya memijit pundak kiri yang sekarang terasa kaku.
"Kau belum pulang?" tebak Tomoya yang tampaknya baru saja menyadari sesuatu. Di tempatnya berdiri—sebuah kamar di lantai dua— berhadapan langsung dengan kamar Ayumi di seberang rumahnya, lampu ruangan itu padam. Menandakan penghuninya tidak berada di tempat. Dan tebakannya itu selalu tepat sasaran.
"Ya, aku baru mau pulang. Mungkin 5 menit lagi kereta datang. Ada apa?" tanya Ayumi.
"Masih bertanya ada apa? Astaga!" seru Tomoya dengan nada frustrasi. Ayumi bisa mendengar suara Tomoya yang terengah-tengah, seperti menuruni anak tangga, serta pintu dibuka sekaligus ditutup dengan tidak sabar. Selanjutnya mungkin Tomoya akan pergi ke garasi dan mengambil sepeda.
"Tunggu di Yakuin-Odori, aku membawa sepeda."
Nah!
"Kau yakin tidak mengantuk di tengah jalan?" goda Ayumi dengan nada mengejek yang dibuat-buat. Mengingat kebiasaan Tomoya yang tidak ada habis-habisnya ia tertawai.
"Tunggu di depan Yakuin-Odori dan jangan pergi ke mana-mana. Hindari berbicara dengan siapa pun dan usahakan tidak menatap orang yang tidak kau kenal!" perintah Tomoya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Omoteshizu
Romance"Waktu bergerak lebih cepat dan bisa meninggalkanku bersama kesendirian. Aku memaki diri sendiri karena tidak menyadari sejak awal. Entah apa yang sedang direncanakan Tuhan. -Kawaguchi Haruka "Aku bisa memeluk harapan-harapan itu dengan sabar. Di an...