Tahun Kedua

8 0 0
                                    

“Satu tahun kemudian....”

Ternyata aku berhasil sampai ke tahun kedua! Padahal tadinya sempat terpikir, “Kalau setahun hasilnya gak memuaskan, fix pindah jurusan.” Begini ya hidup, unik, mana pernah satu kali pun waktu SMA membayangkan studi di jurusan Sastra Cina.

Tahun kedua rasanya mulai padat. Di sela waktu liburan sebelum tahun kedua mulai, aku coba daftar jadi fasilitator OBM IT-CML UI. OBM itu Orientasi Belajar Mahasiswa. Bukan ospek universitas! Ini semacam pengenalan tentang kehidupan perkuliahan di UI. Di antara berbagai pengenalan selama OBM, salah satu yang diajarkan adalah IT (Information Technology) dan CML (Computer Mediated Learning) yang dipakai di UI. Misalnya tentang bagaimana mengakses situs akademik UI, webmail UI, kelas daring, dan lain-lain. Ini super menyenangkan, karena angkatan 2015 waktu maba rasanya tidak dapat OBM IT-CML. Jadi sambil belajar, deh.

Di masa liburan juga, ada kegiatan Welcoming Maba, ini penyambutan untuk maba FIB UI, atau sering disebut Welmab. Dari semester 2, aku ikut dua organisasi, salah satunya BEM FIB UI. Bergabung di Departemen Advokasi Kesejahteraan Mahasiswa (Adkesma), jujur awalnya ikut-ikutan karena kakakku juga anggota Departemen Adkesma, tapi di fakultasnya hehe. Sama seperti waktu SMP ikut OSIS awalnya ikut-ikutan kakak (jangan dicontoh ya). Setiap staf dapat jatah program kerjanya masing-masing. Jatahku adalah menjadi ketua pelaksana Welmab. Takut. Panik. Bingung. Pertama kalinya memimpin kepanitiaan!

“Nyerah aja apa, ya...”

Sering kali aku terpikir menyerah. Tapi akhirnya selalu batal. Beruntungnya program kerja ini join dengan Departemen Humas. Jadi ada satu orang yang ditunjuk untuk Welmab dari Departemen Humas. Huh, lega! Ada yang bisa diajak pusing barengan.

Masuk di tahun kedua, perkuliahan lebih sadis ternyata. Level bahasa yang harus dipelajari rasanya loncat jauh beberapa level dari Bahasa Cina II. Di sisi lain bersyukur untuk mata kuliah bidang Sejarah yang sudah melewati masa kedinastian (asli gagal paham sama logika era dinasti huhu). Tapi memasuki tahun kedua aku merasa susah dan mudah bersamaan. Susah jelas karena materinya semakin meningkat. Mudah karena teman-teman sangat suportif. Setiap orang selalu sukarela berbagi apa yang dipahami satu sama lain. Sering juga diskusi bersama, entah di Kansas (Kantin Sastra), Ruang HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan), bahkan di lantai-lantai gedung manapun yang bisa jadi tempat lesehan. Jadi kangen :")

Tadi kubilang sejak semester 2 aku ikut dua organisasi. Satu lagi adalah Kopma FIB UI. Kopma itu singkatan dari Koperasi Mahasiswa. Lagi-lagi, ini semua karena hasutan kakak haha. Aku dan kakak beda usia 1,5 tahun, tapi jenjang sekolah beda 1 tahun. Jangan bingung, aku yang lebih dulu mulai sekolahnya, kakakku mulai sekolah di usia normal. Dari sejak dia masih maba, bisa dibilang dia cukup update dengan info-info kampus. Mungkin karena dia dulu ambil mata kuliah seni Teater, jadi tahu tentang Kopma. Terhasutlah diriku dengan iming-iming keuntungan koperasi haha. Jujur aku yang dulu masih kapitalis *peace*. Tapi terima kasih untuk hasutan kakakku. Uang dapat, keluarga pun dapat. Bahkan sampai detik ini masih berteman baik dengan kawan-kawan pengurus Kopma. Biasanya kita sering menyempatkan waktu sekadar nonton bareng, makan atau buka puasa bareng, apapun asal bisa kumpul.

Karena rasa kekeluargaan ini juga di semester 4 aku lanjut lagi menjadi pengurus Kopma, tapi dengan posisi yang amat sangat menantang maut. WAKIL KETUA. Singkat cerita, seharusnya yang maju jadi ketua adalah angkatan 2014. Tapi karena berbagai hal, tidak ada satu pun angkatan 2014 yang memungkinkan maju jadi ketua. Akhirnya 3 orang dari angkatan 2015 yang ‘ditumbalkan’, Alam, Taqi, dan aku yang remahan ini. Saat itu sangat tidak siap memegang amanah jadi ketua. Suatu hari saat kita bertiga diminta latihan presentasi Grand Design, aku dapat ruang dan waktu bicara dengan ketua dan wakil ketua yang masih menjabat, Kak Ida dan Kak Reny. Dengan tampang memelas nan lesu, aku bilang, “Kak, jangan pilih aku jadi ketua, ya. Aku gak siap. Kalau jadi wakil gapapa deh.” Serta ditambah bumbu-bumbu kata lainnya untuk memperjelas maksudku. Kupikir itu adalah senjata terakhir, karena aku pernah ikut pemilihan ketua Kopma dan sistemnya musyawarah. Kebanyakan anggota cenderung mendengarkan pendapat pengurus lama karena dianggap lebih mengenal calon.

Dan bulan Januari itu pun tiba. Jangan tanya persisnya tanggal berapa, aku lupa! Sudah kubilang ingatanku jelek. Bersyukur bukan main karena aku tidak terpilih jadi ketua. Untuk pertama kalinya aku senang karena gagal haha. Tapi memang itu keinginanku. Dan yang terpilih adalah Taqi. Aku pun menjaga komitmenku. Kalau diminta jadi wakil, aku tidak akan menolak. Setidaknya masih ada yang backing di atasku. Pikirku sesederhana itu.

Tahun kedua. Masih ada satu memori penting lagi kala itu. Semester 3, saat itu pertama kalinya aku mulai mengajar privat. Lagi dan lagi, semua ini juga pengaruh kakakku. Dia saat itu mulai mengajar privat, lantas aku jadi mau juga. Tapi aku bukan tipe yang akan tanya detail ke dia. Aku cenderung mencari jalanku sendiri. Aku cari di internet tentang lembaga privat. Kenapa harus lewat lembaga? Karena aku tidak pandai marketing, apalagi mempromosikan diri sendiri.

Dan akhirnya ketemulah satu lembaga. Lokasinya cukup jauh dari kost, tapi tidak masalah. Sampai di sana aku dites mengerjakan soal dan micro-teaching. Itu adalah pertama kalinya aku tes jadi pengajar lembaga privat, dan langsung diterima! Entah bagaimana harus menggambarkan rasa senang waktu diundang masuk ke grup Whatsapp lembaga. Tidak lama, sekitar September, aku mulai melakoni profesi sebagai pengajar privat. Jujur ada rasa-rasa gelisah karena ini pertama kalinya aku mengkomersilkan ilmuku. Ada ketakutan aku gagal memberikan ilmu sepadan dengan bayarannya. Tapi ya sudahlah, toh ini kali pertama.

Tahu pelajaran apa yang aku ajarkan saat itu? FISIKA! Tepatnya Fisika SMP Kelas 8. Gila memang cari perkara jurusan Sastra Cina mengajar Fisika. Tapi aku berlaga percaya diri dengan latar belakang jurusan IPA waktu SMA, serta dengan fakta nilai UN SMA tertinggiku ada di pelajaran Fisika, 97! Jadilah modal nekat ini berlanjut. Pertama kali aku mengajar, persiapanku 4 jam untuk mengajar 2 jam. Saat itu langsung mengelus dada, “Ternyata gini ya rasanya jadi guru.” Seketika langsung menyesali sikap-sikap tidak respekku pada guru di masa lalu. Awal mengajar yang luar biasa. Setidaknya otakku masih bisa diajak berpikir kalau pelajarannya hitung-hitungan. Dan awal inilah yang mengantarku terus mengajar sampai detik ini.

Tahun kedua. Ternyata segala awal dari perjalananku banyak bermula di sini.

Class of MMXVTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang