Rangkaian kegiatan mahasiswa baru begitu banyak. Mulai dari Orientasi Belajar Mahasiswa, Orientasi Kehidupan Kampus, Pengenalan Sistem Akademik dan Masa Bimbingan, sampai Ospek Jurusan. Kalau dijelaskan satu per satu sepertinya satu buku novel tidak akan cukup. Aku ingin beranjak langsung pada momen paling berkesan bagiku saat masih berstatus maba -mahasiswa baru-, yaitu PK, singkatan dari Petang Kreatif. Sesuai namanya, acara ini berlangsung mulai petang, dan tak lupa butuh kreativitas. Dari sinilah aku mulai merasa memiliki dan memiliki Sascin UI 2015. Dari sini juga aku mulai beranjak dari anak rumahan yang tidak pernah pulang malam kecuali karena ada les, menjadi anak yang hampir tidak pernah pulang sore.
PK menuntut kami mahasiswa baru untuk bermain peran dalam sebuah pementasan teater. PK ini diikuti oleh mahasiswa baru, sementara para kakak tingkat menjadi pelatihnya. Hal pertama yang dilakukan saat latihan PK adalah lari. Ya, LARI!
"Kalian muterin Gedung V sepuluh kali ya!"
Awal-awal latihan masih harus diteriaki. Lama-lama belum sampai di Gedung V saja kami sudah lari duluan. Sebetulnya lari keliling Gedung V tidak begitu melelahkan, kalau cuma sekali. Kalau sepuluh kali, untukku yang biasanya tidak bisa lari, bisa dibayangkan seberapa sering aku diam-diam tidak lari saat tidak ada kating -kakak tingkat- di dekatku.
"Sekarang buat lingkaran."
Setelah selesai lari, kami pasti berdiri melingkar di selasar Gedung VI. Jangan bingung dengan berbagai Gedung di sini. FIB punya sepuluh gedung yang lumayan bikin nyasar di awal kuliah. Selasar Gedung VI letaknya di antara sisi timur Gedung VI dan sisi barat Gedung V (sebenarnya aku buta arah angin, semoga ini tidak salah). Setelah kami berdiri melingkar, ambil napas sebentar, "latihan militer" kembali berlanjut.
"A...A...A...A...A"
"A...I...U...E...O"
Kami disuruh bersuara keras. Bukan berteriak. Walaupun tidak harus lari, tapi bagian ini tidak luput dari rasa lelah. Kami harus menggunakan suara perut. SUARA PERUT. Bagi yang bisa bernyanyi atau terbiasa bermain drama, ini bukan soal. Bagiku? Seperti dipaksa menembakkan bom dari tubuh demi bisa bersuara keras. Ini tidak mudah. Sangat tidak mudah. Bahkan ketika kating memegangi perut kami satu per satu untuk memastikan kami menggunakan suara perut, sesampainya memegang perutku kating yang keliling berdiri lama. Alasannya, karena suaraku tidak ada bedanya. Ya mau bagaimana, sudah sekeras mungkin masih saja seperempat kerasnya suara teman-teman yang lain. Mungkin si kating baru beranjak karena kesal aku tidak bisa-bisa.
Pemanasan sudah, saatnya mulai berlatih. Di awal latihan belum ada naskah yang pasti. Masih berupa draf. Bahkan dalam draf tersebut belum ada dialog sedikit pun. Hanya ada plot. Saat ditanya siapa yang mau membantu membuat naskah, aku mengajukan diri. Misiku adalah membebaskan diri dari kemungkinan menjadi pemain. “Kalau gue bantuin naskah, pasti gak bakal disuruh jadi pemain, yes,” pikirku saat itu.
Malam itu juga aku diminta mencoba menulis naskah berdasarkan plot yang sudah dibuat. Aku diberi waktu tiga hari, tapi langsung kuselesaikan hari itu. Bukan ambisius, tapi kalau ideku tidak diselesaikan secepatnya nanti keburu lupa. Sepulang dari latihan, hari tidak terlalu larut tapi sudah gelap. Sampai di asrama, aku langsung bersih-bersih dan membuka laptop. Aku tidak sadar ternyata sudah mengerjakan naskah sampai tengah malam. Tepat pukul 12 malam, lalu aku melirik ke arah jendela yang gelap itu, dan seketika merinding. Aku melirik lagi ke arah naskahku. Naskah tentang pernikahan arwah. Seorang laki-laki HIDUP menikahi perempuan yang sudah MATI. Sembari terlintas pemikiran-pemikiran seram tentang isu horor di asrama, malamku makin tidak karuan. Aku cepat-cepat menyelesaikan naskah itu. Tidak peduli apapun jadinya, karena aku kepalang takut sejadi-jadinya. Pukul 12.30 aku sudah tidak bisa lagi berdamai dengan rasa takutku yang sebenarnya tidak penting. Jadi, "Bye bye naskah, gue mau tidur!"
Selesai dengan naskah, ternyata tugasku memang cukup sampai di sini. Selebihnya akan dikembangkan oleh para kating. Kemudian latihan-latihan berikutnya diisi dengan agenda yang paling kuhindari dan aku yakin tidak perlu terlibat. AUDISI PEMERAN. Membantu mengembangkan naskah kukira sudah cukup menjauhkanku dari tanggung jawab lain, terutama berakting. Tapi ternyata tidak semudah itu ferguso. Semua orang dari kami diharuskan audisi.
“Matilah gue...”
Aku hanya bisa bergumam dalam hati. Bagaimana caranya aku kabur dari audisi ini? Sedikit pun aku tidak ingin berakting. Aku lebih suka di belakang layar. Tapi karena teman-teman yang lain juga tetap audisi, mau tidak mau aku juga harus audisi. Bahkan teman-teman yang lebih pemalu dariku pun ikut audisi. Baiklah, semoga aku tidak lolos. Pikiran yang sangat tidak sehat memang, tapi aku memang sangat tidak ingin.
Syukurlah audisi itu cepat berlalu. Dan cepat juga memastikan diriku tidak jadi pemeran. Grace dan Lukman yang menjadi pemeran utama, beserta dengan pemeran pembantu lainnya. Sisanya? Dibagi ke divisi-divisi di balik layar. Aku awalnya sempat masuk ke divisi properti, tapi kemudian aku pindah ke divisi lighting karena butuh tambahan orang sedangkan di divisi perlengkapan sudah ada cukup banyak orang. Selain dua divisi itu, ada juga divisi kostum, make-up, dan musik. Oh ya satu lagi, divisi konsumsi, yang diisi oleh ketua angkatan kami, Laurent, hehe. Sebenarnya tidak ada divisi konsumsi, tapi Laurent selalu siap dengan minuman hangat setiap malam latihan kami, terutama menjelang pementasan.
Hari demi hari latihan berlalu sangat cepat. Dari mulai latihan yang hanya beberapa hari dalam seminggu, sampai meningkat intens setiap hari. Dari pulang latihan pukul 7 malam, sampai pukul 1 malam. Alhamdulillah latihan kami tidak semenyeramkan beberapa jurusan lain yang bahkan bisa sampai jam 3 dini hari. Dan alhamdulillah juga latihan kami aman dari "gangguan misterius" karena ada anak jurusan lain yang sampai kesurupan saat latihan. Ya, kami harus banyak bersyukur atas ini semua. Karena kami latihan sampai malam, jadi berbagai gangguan rawan sekali datang, tapi syukurlah kami semua aman selama latihan.
29 November 2015, sampailah di hari pementasan kami. Aku tidak ingat kami urutan keberapa dari 15 jurusan yang akan tampil. Yang aku ingat, anak-anak lighting harus sudah bersiap sejak 2 pementasan sebelum tampil. Tim lighting kami terdiri dari aku, Rifa, dan Mita. Tapi yang naik ke meja lighting hanya aku dan Rifa. Mita membantu kami mengabari apakah blackman sudah selesai mengatur properti agar kami tahu kapan harus menyalakan lampu. Blackman adalah sebutan untuk anak-anak properti. Disebut blackman karena saat pementasan mereka harus berbaju hitam. Hal ini agar pergerakan mereka saat memindahkan properti tidak terlihat oleh penonton.
Jujur saja, berada di posisi lighting sangat menegangkan. Aku dan Rifa melihat panggung secara penuh. Menunjang sekaligus menikmati pementasan di saat bersamaan. Di sisi lain, tidak hanya pergerakan di atas panggung yang harus kami amati. Kami juga harus menyimak musik dengan baik. Jangan sampai patokan pergantian lighting dari musik yang dimainkan terlewat oleh kami. Selain itu, alat yang digunakan untuk bermain lampu itu cukup rumit. Banyak sekali slider yang digunakan untuk menyalakan lampu yang diinginkan. Berada di hadapan alat itu membuatku membayangkan, “Mungkin jadi DJ -Disc Jockey- seperti ini rasanya.” Tapi saat itu aku tidak bisa memungkiri betapa aku sangat tegang. Alhasil aku sempat menyenggol slider dan membuat sisi panggung yang seharusnya gelap menjadi terang. Beruntung tidak ada pemeran di sana saat itu. “Bodoh, bodoh. Pake kesenggol segala, ” aku hanya bisa menggerutu.
“Alhamdulillah selesai juga!”
Rasa syukurku dalam hati tak tertahankan setelah pementasan kami selesai. Lega ketegangan ini sudah berlalu bercampur haru karena masa-masa kebersamaan kami telah selesai. Maksudku kebersamaan kami latihan PK. Walaupun latihan PK memang melelahkan, tapi aku harus mengakui bahwa masa latihan PK berdampak luar biasa bagi angkatan 2015. Mungkin juga dirasakan angkatan-angkatan sebelumnya. Latihan PK membuat kami seangkatan menghabiskan waktu bersama dari pagi sampai malam. Kami jadi saling mengenal. Kami tahu kebiasaan masing-masing. Kami bisa memahami satu sama lain. Kami jadi semakin dekat dan tidak canggung lagi. Mungkin latihan PK ini layak disebut bagian dari ospek. Dari sini kami belajar berbaur dengan teman seangkatan dan kakak tingkat. Dari sini kami belajar memahami kelebihan dan kekurangan satu sama lain serta saling mengisi. Dari sini kami belajar saling membantu bahkan untuk hal yang bukan tanggung jawab kami sekalipun. Aku tidak ingin mengulang waktu untuk latihan PK. Tapi yang kuinginkan jika waktu bisa diulang adalah kebersamaan yang terjalin seperti saat PK.
KAMU SEDANG MEMBACA
Class of MMXV
No FicciónSebuah koleksi curhat perjalanan 3,5 tahun menjadi bagian dari Sastra Cina UI 2015.