Pada berisik banget wey.. minta up mulu 😑.
g gw lagi baik nih 😐. Makanya dibales dong pake vote. Pencet sekali doang apa susahnya sih, dibanding ngetik sambil mikir. Ya kan?Ng.. kalo ada yg mau bales pake transferan duit gw juga mau menerimanya dengan lapang paha, eh dada.
______________________
Violet menatapnya tanpa tahu apa yang ia rasakan. Sedangkan Jovan menatapnya seolah tak percaya dengan matanya sendiri.
Tautan mata mereka terputus saat seorang laki-laki muncul menyadarkan Jovan.
"Pak, Anda sudah ditunggu di ruang meeting," katanya sopan. Jovan menoleh padanya dan butuh beberapa saat untuk mencerna perkataan itu. Lalu mengangguk memaksakan senyum.
Jovan menatap Violet sekali lagi sebelum akhirnya pergi bersama orang itu.
Perlahan Violet meraba dadanya. Debaran jantungnya cepat sekali. Hingga tangan dan bahkan seluruh tubuhnya serasa ikut bergetar sebab tak kuat menerima pompaan darah yang terlalu cepat.
Baru Violet ingat. Pak Adi pemilik perusahaan ini, bernama lengkap Adisutantyo. Pantas saja Violet selalu merasa tak asing dengan wajahnya. Bukan karena pernah bertemu dengannya tapi wajah itu sekilas mirip Jovan. Geovano Adisutantyo. Jadi perusahaan ini milik ayahnya Jovan? Ini artinya Jovan adalah bosnya? Sial.
Violet meraup wajahnya dan menarik nafas dalam-dalam.
9 tahun, dan akhirnya ia melihat wajah itu lagi. Violet inginnya bahagia dan lega melihat ia baik-baik saja. Tapi nyatanya ini terasa sakit. Selama ini Jovan baik-baik saja. Melangkah melanjutkan hidupnya dengan baik. Sedangkan ia terpuruk bertahun-tahun dirundung masa lalu.
"Lo bego banget sih Viiiii." Batin Violet merutuki diri sendiri.
Kenapa dulu bisa-bisanya masih mengharap saat bahkan semua pesan yang dikirimkan pada Jovan hanya ia baca tanpa ada balasan. Harusnya mulai hari itu dirinya sadar kalau Jovan sudah beranjak pergi dari hidupnya.
Ia ingat jelas. Sejak 3 hari setelah Jovan menghilang, ia mengirimkan pesan padanya. Hari berikutnya, hari berikutnya lagi dan lagi. Semua pesannya tertahan. Tapi pernah satu hari setelah beberapa minggu, semua pesan itu berhasil terkirim dan terbaca. Ya, hanya dibaca tanpa ada balasan apapun.
Violet ingat malam itu ia menangis. Antara bahagia dan kecewa. Bahagia karena berpikir Jovan baik-baik saja, dan kecewa karena Jovan tak membalas pesannya. Dan itulah kebodohannya, tetap percaya dan berharap Jovan datang lagi padanya. Bodoh karena harusnya sejak hari itu ia tahu kalau Jovan sudah melangkah.
Sakit memang saat seseorang meninggalkanmu. Nyatanya lebih sakit saat tahu ternyata dia tak peduli dengan apa yang terjadi denganmu dan bahkan hidup dengan baik setelah itu.
________
Violet menatap makanan di depannya dengan enggan. Ia duduk sendirian di salah satu meja kantin perusahaan. Ini sudah waktunya makan siang tapi dadanya masih terasa sesak hanya karena melihat Jovan beberapa detik saja pagi tadi.
Seseorang duduk di depannya. Violet mengangkat wajahnya dan mendapati Lusi tersenyum ceria seperti biasanya. Namun senyumnya segera meredup saat Violet membalas senyum itu dengan masam.
"Kenapa muka ditekuk gitu?" Tanya Lusi yang kemudian mulai makan.
"Dimarahin bu Melan?" Tebak Lusi.Violet tetap masam dengan senyumnya, menggeleng pelan. Akhirnya mulai makan juga walau tak bernafsu.
"Terus kenapa? Ribut sama anak lain?" Tebak Lusi lagi.
Violet tersenyum lagi. Kali ini senyum sungguhan. Karena senang sudah diperhatikan dan dikhawatirkan. Lalu menggeleng menjawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex Berandalan [Terbit]
Romance#21+ Lanjutan dari Berandalan... Baca "Berandalan" dulu sebelum baca story ini Sudah terbit cetak, juga tersedia e-booknya di playstore >> https://play.google.com/store/books/details?id=PBKhDwAAQBAJ