Ex Berandalan : 7

96.8K 5.4K 151
                                    

Cukup basa basinya yes... Mari kita buka tabirnya satu per satu... Supaya cepet kelar, supaya cepat-cepat kita sampai pada akhir yg tragis itu :v

__________________

Violet menatap bayangan dirinya yang setengah telanjang di kaca. Melihat tanda kemerahan yang ditinggalkan Jovan di sekujur tubuhnya. Satu di leher sebelah kanan, dua di sebelah kiri. Satu diantara pundak dan dada. Dua di dada kanannya dan satu di dada sebelah kiri.

Violet menghela nafas pelan dan kemudian memakai bajunya. Setelah itu berjalan menuju ranjang. Bekasnya masih belum hilang, pun rasa perih di bawah sana masih sedikit terasa walaupun telah berlalu 4 hari. Kalau perih di hatinya? Violet tak tahu. Ia tak akan memungkiri kalau rupanya memang ia masih mencintai lelaki brengsek itu. Bagaimana tidak, nyatanya terasa sakit hati mengingat dia punya wanita lain. Dan Violet sadari itu bukan sekedar kecewa. Tapi juga cemburu. Bodoh? Bukannya sudah dari dulu memang sebodoh ini? Sejak SMA sudah sebodoh ini mencintai lelaki sebrengsek Jovan.

Violet duduk di atas ranjangnya dan melamun. Terusik saat handphonenya yang berada di atas meja berdering mengalunkan irama lembut. Sedikit malas Violet meraihnya. Benar dugaannya, satu panggilan masuk dari nomor kantor. Sudah 4 hari juga ia tak masuk kerja. Dan memang tak berniat kembali kesana.

Ia letakkan kembali handphone itu di meja. Tak berniat menjawab, mengabaikan seperti sebelum-sebelumnya. Lalu bangkit dan berjalan keluar kamar setelah bosan mendengar dering ponsel itu berulang lagi. Berniat untuk pergi ke rumah bang Rizal untuk bertemu dengan Risa seperti yang ia lakukan 3 hari kemarin. Violet akan berada disana seharian dan kembali ke rumah saat hari sudah sore. Sejujurnya itu karena Violet juga tak nyaman berlama-lama di rumahnya sendiri. Jelas karena kenangan di rumah itu yang menyayat hati.

Besoknya di pagi hari, Violet baru selesai sarapan saat akhirnya mau melihat ponsel itu lagi. Ini akhir pekan, jadi tidak mungkin ada nomor kantor yang akan menelfonnya hari ini. Ia duduk di atas ranjang dan mulai mengecek apa saja yang telah mengusik ponsel itu. 17 panggilan tak terjawab. 6x dari nomor kantor. 11x dari nomor Lusi. Lusi juga mengirimkan pesan.

"Vi, lu kenapa?"
"Sakit?"
"Vi, angkat dong."
"Vi."
"Vi, gue telfon sebagai temen lu, bukan sebagai pegawai HRD."
"Vi, gue beneran khawatir."
"Vi."

Tidak hanya Lusi yang mengirimkan pesan padanya. Ada bu Melani dan satu lagi teman sekantor yang satu bagian dengannya.

Violet menghela nafas pelan. Ia tahu seharusnya tidak menghilang tanpa kabar seperti ini. Seharusnya berpamitan dengan mereka secara baik-baik. Tapi bagaimana bisa. Mereka pasti tanya alasannya. Dan Violet sadar dirinya ini bukan orang yang pandai berbohong. Tidak mungkin diam dan tersenyum saja menjawabnya. Apalagi ia tahu bagaimana bu Melani yang pandai berargumen. Violet akan sungkan menolaknya tapi tidak mau juga untuk menurut jika nanti diminta untuk kembali.

Lamunan Violet buyar saat ponsel di tangannya kembali berdering. Panggilan masuk dari Lusi. Violet berpikir sebentar. Angkat atau tidak? Lusi sudah bilang, ia menghubungi sebagai teman bukan sebagai HRD. Setelah menarik nafas panjang, Violet akhirnya mengangkat telfon itu.

"Akhirnyaaaaaa... Ya Tuhaaaan.

Viii lu tu kemana aja sih. Gue tu cuma takut lu tuh kenapa-kenapa. Itu doang...
Sampe kemaren, pulang ngantor gue ke kosan lu yang lama tau gak. Nanya-nanya sama ibu kosnya, sama temen kosan lu, siapa tau ada yang tahu alamat lu yang baru. Anjir, nyebelin, gak ada yang tahu. Nyesel gue dulu gak minta lokasinya waktu udah lu tawarin. Nyariin lu udah kayak nyariin jodoh aja, udah capek udah nyesek tetep aja gak ketemu...

Violet tersenyum mendengar ocehan panjang Lusi yang langsung nyerocos tanpa jeda. Menunggunya selesai bicara, menunggunya puas meluapkan semuanya.

"Lu sakit apa gimana sih? Sakit apa? Parah banget sampe gak kuat angkat telpon? Terus siapa yang ngerawat? Lu kalo bilang sama gue kan gue bisa kesana Vi. Gue khawatir banget tahu gak. Gue takut lo kenapa-kenapa, padahal gue tau lu tinggal sendirian. Gue sampe uring-uringan terus di kantor tuh. Sesiapa aja gue amuk. Sesiapa aja gue marahin. Udah kayak emak Macan abis lahiran aja gue tuh...

Ex Berandalan [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang