Green Mark

42 9 14
                                    

Jangan tanyakan mengapa aku ada di sini. Meski ibu selalu marah setiap kali melihat hasil kalapku. Mau bagaimana lagi? Tanganku tidak bisa berhenti mengambil buku-buku murah itu. Harga yang sesuai dengan pelajar sepertiku.

Hari ini aku pergi bersama Winda, temanku yang juga gemar membaca. Bedanya dia lebih senang membaca cerita horor dan misteri, sementara aku lebih condong ke cerita teenlit atau romance. Ah, iya, aku dan Winda sering bertukar novel. Aku sesekali meminjam novel milik Winda, begitu juga sebaliknya.

Bazar buku kali ini tidak hanya ada diskon yang menarik, ada juga novel bekas yang tentunya masih layak untuk di baca. Kakiku tergerak untuk mendekati stan buku bekas itu.  Banyak sekali buku yang terhampar rapi di atas terpal biru.

10.000 - 25.000

Tulisan besar itu tentu saja sangat menarik perhatianku dan Winda. Setidaknya dengan uang yang kubawa, aku bisa membeli dua sampai lima buku.

Kebiasaan burukku adalah; sulit mengambil keputusan. Sudah lebih dari 10 buku yang aku baca bagian belakangnya. Saking banyaknya buku yang menarik, aku jadi kebingungan menentukan pilihan. Kalau saja uangku cukup untu membeli semua buku murah ini, maka akan kubawa pulabg semuanya. Hm, tetapi kalau itu terjadi maka siap-siap saja ibu akan memarahiku. Hehe.

“Kamu beli yang mana? Aku udah dapat, nih!” seru Winda sambil menunjukkan tiga buku yang ada ditangannya.

Dua buku dengan cover gelap dan terkesan menyeramkan, sementara yang satunya bernuansa ceria.

Aku merebut buku putih itu, membalikkan bukunya dan membaca blurb-nya. “Kamu yakin baca buku ini, Win? Tumben banget!” ujarku tak percaya.

Winda hanya nyengir. Tidak mengatakan apapun. Kalau dilihat dari sinopsinya, buku ini memang cukup menarik. Secara garis besar menceritakan persahabatan dua orang wanita sejak kecil. Wah, aku jadi penasaran.

“Aku juga mau beli ini, ah!”

Winda mencegahku. “Ngapain? Kan, aku udah beli. Nanti kamu pinjam punyaku aja. Mending kamu beli yang lain aja supaya bacaan kita bervariasi.”

Ah, iya, benar juga. Baiklah aku memilih buku yang lain saja.

Akhirnya, dengan bantuan Winda aku berhasil membawa pulang empat buku. Dua buku seharga lima belas ribu, dan yang duanya lagi sepuluh ribu.

***

“Nih, Ta!” ujar Winda sambil menyodorkan buku yang dibeli di bazar murah kemarin.

“Lho? Kamu udah selesai baca? Biasanya kalau genrenya seperti ini kecepatan membaca kamu menurun,” ejekku sambil menerima buku dari Winda.

Kecepatan membaca Winda sangat luar biasa. Dalam sehari dia bisa menghabiskan satu buku yang tebalnya nyaris tiga ratus halaman. Mungkin itu hal biasa bagi orang-orang di luar sana, tetapi bagiku tidak. Masalahnya, aku tidak bisa seperti Winda. Dia pintar membagi waktu antara belajar, makan, tidur, membaca, dan ibadah.

Lain cerita jika yang sedang ia baca adalah cerita teenlit atau romance, ia baru bisa menyelesaikan bacaannya itu paling cepat tiga hari. Padahal tebal buku itu tidak lebih dari dua ratus.

“Oke, aku pinjam, ya? Tapi aku bacanya setelah menyelesaikan bacaanku dulu.”

“Jangan, Ta! Baca ini aja dulu. Aku yakin, deh! Ceritanya pasti seru! Soalnya cerita di buku ini sama seperti kita, Ta. Persahabatan mereka sangat kuat.”

“Mm, tapi novel yang aku baca sebentar lagi tamat, kok. Mungkin tiga bab lagi. Gimana?” Aku tidak bisa membaca cerita yang berbeda dalam satu waktu, lebih baik membaca satu per satu secara bergantian.

Kumcer ASOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang