Namanya Uttari. Orang-orang di sekitarnya menganggapnya cewek aneh. Ia nggak suka bersosialisasi dan nyaris tidak punya teman. Tak jarang orang-orang mengoloknya ketika ia melewati koridor kelas. Ada yang mengatainya sombong dan individualistis.
Tapi, ada satu orang yang mau berada di sampingnya ketika orang-orang memilih menjauh dan menganggap cewek itu seolah tidak ada.
Namanya Damar.
Orang-orang mengenalnya sebagai cowok tampan yang bisa dalam segala hal. Nyanyi, renang, ikut olimpiade fisika, anggota OSIS dan bla bla bla lainnya yang terkadang membuat Uttari risi. Bukan apa-apa. Hanya saja, ia yang sudah berteman akrab dengan kesunyian harus terpaksa mendengar debuman celotehan orang-orang di sekitarnya jika ia sudah berjalan beriringan dengan Damar.
Rentetan pujian untuk Damar yang lebih terdengar seperti pukulan gendang yang memusingkan kepala.
"Damaaaarr ya ampun, ganteng banget, sih!"
"Damaaar, gue udah follow akun ig lo, follback napa, pelit banget!"
"Lo manusia apa jelmaan bidadara yang diturunkan dari surga khusus buat gue, sih?"
Dan celotehan-celotehan lainnya yang membuat Uttari pengennya tutup kuping saja.
Tak jarang Uttari mengusir Damar, menyuruh cowok itu untuk menjauh saja dari cewek itu. Tapi, anehnya cowok itu menolak.
Damar bilang, "Lo itu kayak magnet, Uttari. Gue juga pengennya pergi, tapi lo kok narik gue mulu buat kembali lagi ke titik awal?"
Bukannya pipi Uttari memerah karena penuturan itu, justru yang diterima Damar berikutnya adalah pukulan.
Hari ini ada rapat OSIS, dan Uttari terjebak di ruangan itu, bersama Damar tentunya.
"Gue, 'kan udah bilang, iuran dua hari sekali kemahalan, ege!" Itu kata Arsa, cowok berambut cepak.
Rapat kali ini membahas tentang iuran air galon yang disediakan sekolah, sesuai program kerja OSIS yang baru.
"Ya enggak lah. Gini, mereka kan bisa ambil minum sepuasnya, masa 2 rebu dibilang mahal." Ella, si sekretaris ikut berpendapat.
"Ya jangan dua hari sekali juga. Nanti malah banyak yang protes."
"Udah-udah jangan ribut gini!" Damar yang semula hanya diam, berdiri dari duduknya dan mencoba menenangkan.
"Kalau dua hari sekali banyak yang protes, kita ambil jalan tengah," ucapnya sembari mengedarkan pandangan ke seisi kelas, lalu terhenti ke satu titik, di mana di sana ada Uttari yang terduduk dengan menopang dagu. Cowok itu tahu, Uttari sangat malas mengikuti rapat semacam ini. Dan, jika tadi Damar tidak menyeretnya paksa ke sini, bisa saja Uttari kabur.
"Caranya?"
Ia lantas menyeringai, "kita tanya Uttari, kayaknya dia punya usul yang bagus."
Merasa namanya disebut, serta-merta membuat Uttari tersentak dan mendongak. "Ha?"
Damar terkekeh geli.
Seketika tatapan seisi kelas berporos kepadanya, "Uttari, lo ada usul buat masalah ini?"
Uttari gelagapan. Pasalnya, sejak tadi ia tak benar-benar mendengarkan. Di pikirannya sejak tadi hanyalah pulang, kembali ke kamar dan menyelesaikan membaca novel terjemahan yang sempat dibelinya beberapa waktu lalu.
"Gue nggak yakin Tari punya usul," ledek si sekretaris.
"Sebelum lo ngomong, minum dulu mending, deh, sebelum keselek saliva sendiri saking gugupnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumcer ASOW
Short StoryKumpulan Cerita Pendek dari masing-masing anggota A Series Of Writing.