Assistant

28 5 0
                                    

Kau tak perlu menjawabnya sekarang. Tapi ku sangat berharap kau mau menerima tawaranku ini, Fine. Kau juga akan digaji lho.

Sebuah permintaan yang menyusahkan. Masih belum cukup dia membuatku tak bisa leluasa untuk mengakhiri hidupku, sekarang dia menawari tempat tinggal karena takut ku akan mati besok.

Sebenarnya ku tak marah dengan perbuatannya. Hanya saja ku merasa Asha semakin mengikatku. Aku tak ingin meninggalkan kenangan untuk siapapun sebagai Fine. Itu hanya membuat orang lain terluka saat ku berhasil menyelesaikan semuanya nanti.

Tolong pikirkan tawaranku ini, oke?

Aku tak punya waktu untuk itu.

"Sedang memikirkan sesuatu?"

Lamunanku buyar seketika ketika Grey menegurku sembari menyeruput tehnya di depanku. Mata heteronya menatapku seolah tengah menyelidiki.

"Bukan apa-apa" dengusku ikut meminum teh yang ia suguhkan.

"Ku cukup kaget lho kau datang ke tempat ini tanpa melakukan kebiasaan anehmu itu. Apa itu tandanya kau sudah tobat, Fine" katanya dengan muka berbinar-binar. Aku menyipit.

Dia sebelas dua belas dengan Asha soal ini.

"Siapa bilang ku tobat. Tak bisa, sebelum aku menemukan sebab kematianku" kataku dingin.

Grey hanya menghela nafas panjang. Terlihat jelas di raut wajahnya yang tampak capek meladeniku yang begitu bebal.

"Lalu ada apa kau kemari?" tanyanya akhirnya.

"Gabut" kataku datar. Sukses membuat Sang Penjaga Batas Hidup dan Mati itu menepuk jidatnya.

"Disini bukan taman bermain, bocah. Balik sana, selesaikan kontraknya"

"Ku butuh kerjaan. Di Iris Tierra ku tak menemukan aura putus asa ataupun kematian tak wajar. Kenapa kau mengirimku di tempat yang terlalu damai" kataku menghabiskan tehku.

"Yang ada ku justru dibututi dimana-mana oleh perempuan yang mudah khawatiran, kayak ibu-ibu. Ku jadi tak bisa mencari ingatanku dengan tenang" tambahku lagi.

Grey hanya tertawa kecil. Beranjak dari kursi. Kembali membaca berkas-berkas yang bertumpuk.

"Bukannya bagus. Lagipula mencari ingatan tak harus berpatokan pada satu-satunya pecahan yang kau ingat, dan kau bisa fokus mencari kebahagiaanmu. Aku cukup baik kan memberimu tempat yang damai" kata Grey mengangkat bahu.

Aku menyipit. "Bukannya kau ingin aku membantu pekerjaanmu?" tanyaku tak mengerti.

"Ah sebenarnya aku masih sanggup menyelesaikan tugasku" katanya santai. Entah kenapa kata-katanya terasa menyebalkan.

"Tapi baiklah karena kau meminta, kebetulan aku barusan mendapat list orang-orang yang akan mati di Iris Tierra hari ini. Ini daftarnya" katanya menyerahkan selembar kertas kepadaku.

Aku membacanya. Tak begitu banyak tugas yang dia berikan kepadaku. Hanya lima orang. Sedikit diluar ekspektasiku yang berharap sedikit lebih banyak dari ini. Tapi mungkin bisa dimaklumi karena Iris Tierra negeri yang damai.

"Ku balik dulu" kataku beranjak dari tempat dudukku. Berniat meninggalkan tempat ini.

"Ngomong-ngomong, Fine" Grey kembali memanggilku.

"Apa?" ku kembali menghentikan langkahku.

"Kurasa berada di tengah-tengah aroma roti itu tidak buruk" katanya sembari mamasang senyum kecil.

"Ha?" aku mengernyitkan dahi tak mengerti dengan maksud makhluk ini. Lagi-lagi dia suka mengatakan hal aneh. Kuputuskan untuk mengabaikannya.

******

The Way to ParadiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang