Undead

11 1 0
                                    

Kenapa dia menusukku?

Di tengah rasa dingin yang mulai kurasakan akibat luka yang kudapat, aku hanya menatap sosok penuh perban itu penuh tanda tanya. Awalnya aku hendak positif mengira pria yang pernah kulihat bersama Rest itu hanya mencoba melindungi Rest dariku karena mengira ku orang jahat yang mungkin sering berkeliaran malam hari.

Hingga aku melihat sesuatu  di sekitarnya yang sialnya kenapa ku baru sadar sekarang itu apa.

Aura gelap disekitarnya itu...aura yang sama dengan yang kumiliki.

Aura orang mati.

Aku takkan pernah salah. Aku yakin dia sama denganku. Bahkan ku merasa dia tak seharusnya ada di dunia ini.

"PATCHY APA YANG KAU LAKUKAN?!"

Samar-samar aku bisa mendengar Rest membentakinya. Tampak begitu panik memegangi lukaku.

Sial, pandanganku mulai buram.

"Aku hanya mencoba melindungimu, Rest. Kau tak sadar dia apa?" sungutnya dengan muka tanpa perasaan sama sekali. Seolah dia sudah terbiasa dengan perbuatan kotor ini.

"Tapi Kak Fine orang baik. Sudah ku bilang kau tak boleh membunuh disini. Sudah berkali-kali kubilang" seru Rest panik.

Tak boleh membunuh disini...

Seketika ku teringat kata-kata Minus tadi siang.

Oh shit...

Sial, kesadaranku semakin memudar. Aku tak bisa mati sekarang. Rest dalam bahaya.

Tidak...jangan mati dulu. Aku tak boleh mati sekarang. Lagipula entah kenapa ku jadi tak yakin kalau ku akan hidup lagi karena ku bukan mati bunuh diri kali ini.

Ah...

Semuanya mulai gelap.

**********

"Huaaaa...."

Reflek ku terbangun, kembali ke ruangan serba kelabu yang kukenal. Dunia perbatasan hidup dan mati. Lebih tepatnya ruang kerja Grey.

Namun Grey sedang tak ada di ruangannya.

Baru kali ini ku sepanik ini begitu kembali ke ruangan ini. Biasanya justri situasi ini adalah situasi paling ku sukai. Karena ku tak perlu kena omelan begitu ku bangun tidur.

Tapi sekarang tidak. Ku benar-benar butuh Grey untuk melemparku kembali ke dunia nyata sekarang. Atau ku akan ketahuan Rest kalau ku aslinya sudah mati.

Tak hanya itu, ku tak ingin Rest kenapa-napa karena pria yang cukup ku yakini sebagai pembunuh berantai yang dimaksud Minus.

Lebih parah lagi, pria itu bukan hanya sekedar pembunuh berantai. Dia orang mati. Jauh lebih berbahaya dari sekedar pembunuh berantai.

"Woee...Bos. Kau dimana sekarang" teriakku panik mondar mandir di ruang kerjanya. Benar-benar tak bisa tenang dengan situasi ini.

Ah panjang umur, dia langsung muncul di membukakan pintu dengan wajah heran sekaligus sedikit kesal.

"KAU BUNUH DIRI LAGI?!KUPIKIR KAU SUDAH TOBAT" teriaknya tiba-tiba mengguncang-guncang tubuhku.

Ya, dia pernah bilang tiap ku muncul auranya beda saat ku mati bunuh diri dibandingkan masuk melalui portal.

"Bukan...kali ini bukan... heii stop. Ku harus kembali sekarang" kataku melepaskan tangannya panik.

"Eh?"

Ia mengernyitkan dahi heran. Ku cukup yakin dia tengah berpikir ku sedikit aneh hari ini.

"Ku harus kembali sekarang. Masih bisa kan Bos? Tuan Gift? Pliss" seruku memohon.

"Ah benar juga, auramu sedikit beda walaupun kau kembali sama-sama lewat kematian" katanya menepuk tangannya lola.

Hayolah, tak bisakah pria ini sedikit cepat sekarang?

"Kau mati dibunuh? Yaah...kau masih bisa kembali sih karena tanda kontrakmu belum hilang semua. Tapi kenapa kau buru-buru sekali?"

"REST DALAM BAHAYA" teriakku panik. Seketika pria kelabu itu terdiam.

"...Ah, baiklah. Ayo" katanya langsung menyeretku kembali ke jembatan itu. Ekspresinya sama khawatirnya denganku saat dia mendorongku kembali ke dunia nyata.

Ah sial...ku lupa menanyakan soal orang mati itu padanya.

*********

"Ah...sudah bangun?"

Aku bisa mendengar suara lembut yang sedikit tinggi menghampiri pendengaranku begitu ku membuka mata. Kudapati Rest tengah menatapku penuh kekhawatiran.

"...Rest"

Kulihat diatasku terdapat terhalang langit-langit rumah menandakan ku tengah berada di sebuah ruangan. Ku juga mendapati sesuatu yang emput di bawahku menandakan ku tengah berbaring di sebuah kasur. Ku kembali menatap Rest yang sekarang tampak begitu lega.

Seketika ku teringat apa yang terjadi.

"Kau baik-baik sa– agh" ku reflek bangun dari ranjang namun karena gerakanku yang tiba-tiba membuat sekujur tubuhku ngilu. Apalagi di punggung karena tertusuk.

"Aaaa...aku baik-baik saja. Kak Fine jangan bangun dulu" kata Rest panik memegangiku.

"Dimana dia...si perban itu..." desisku memegangi punggungku dengan nafas terengah.

Dia bahaya, aku harus menjauhkannya dari adikku. Itu perioritasku sekarang.

"Ah...Patchy. Tadi barusan dia keluar. Maafkan dia ya Kak. Itu tadi tak sengaja" kata Rest dengan wajah sangat bersalah.

Apanya yang tak sengaja. Mukanya sudah jelas sudah terbiasa melakukan hal ini.

Sebentar...kenapa Rest begitu santai. Apalagi kalau diingat Rest sangat sadar dengan siapa orang yang bersamanya itu.

Baru saja ku tengah memikirkannya, tiba-tiba ku dikagetkan dengan sebuah pisau yang melayang ke arah mukaku. Reflek saja ku mendorong Rest yang masih memegangiku jatuh. Membuatku tak sengaja menindihnya.

Siapa yang melakukan i–

Ku lihat si rambut putih dengan penuh perban itu di depan pintu kamar. Menatapku dengan muka kesal seolah ingin membunuhku.

"Ah... Sepertinya kau benar-benar harus kumusnahkan ya. Beraninya kau memeluk Rest" katanya dengan nada bengis.

Aura disekitar pria itu tampak begitu gelap. Seolah seperti setan yang baru saja bangun.

Dia pikir hanya dia saja yang marah. Akulah yang seharusnya marah disini. Bagaimana bisa makhluk seberbahaya ini bersama adikku.

Dengan susah payah ku mencoba bangun. Mengeluarkan pisau yang selalu kusimpan di balik jaketku untuk jaga-jaga selama di Rain Desert (sebenarnya pisau itu biasa kupakai buat memotong tanganku). Sial, punggungku ngilu sekali.

"Bu-bukan begitu Patchy. Aku hanya memeganginya yang baru bangun. Kau kenapa sensi sekali sih" kata Rest panik.

"Hah?! Bukannya seharusnya aku yang bilang begitu, mumi sialan" dengusku sama marahnya kepada pria perban itu. Membelakangi Rest.

"Semua yang mendekati Rest harus mati. Terutama untuk orang mati sepertimu" katanya tiba-tiba menerjangku.

"Kau juga sama matinya sialan. Kaulah yang harus menjauhi Rest" teriakku menahannya yang benar-benar ingin sekali membunuhku. Aura haus darahnya kuat sekali. Membuatku kesulitan menghadapinya terutama dengan kondisi seperti ini.

Pergumulan terjadi. Tentu saja ku tak rela harus kalah disini. Ini demi adikku. Aku harus menjauhkan makhluk ini. Kalau bisa membunuhnya.

Kami terus saling menikam satu sama lain sampai sebuah hantaman panci melayang ke kepala kami masing-masing. Kudapati Rest yang tampak marah kepada kami berdua.

"Sudah kubilang kalian berhenti"  katanya terus memukul kepala kami masing-masing dengan panci.

Sungguh aku tak mengerti kenapa Rest begitu santai seolah terbiasa dengan situasi ini.

********

Duh ku asli udah mulai lupa draf cerita ini gimana. Maafkan aku kalau ini aneh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Way to ParadiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang