12

446 24 0
                                    

Surabaya, setahun yang lalu.

Ovie baru pulang dari kampus dengan tampang lesu. Kuliah dari pagi ditambah kegiatan himpunan mahasiswa yang membahas pembentukan panitia ospek untuk mahasiswa baru cukup menyita waktunya sebagai sekretaris. Dengan gontai ia membuka pintu pagar rumahnya, namun suara histeris mamanya dan teriakan papanya dari dalam rumah merubah langkah gontainya menjadi gerakan lari secepat kilat.

"Ma, Pa ada apa?" Tanya Ovie panik menghambur ke ruang tv. Tampak mama menangis sesegukan dalam pelukan suaminya.

"Tolong pesankan tiket pesawat ke Jakarta sore ini Vie, Tasya masuk rumah sakit." Jelas papanya pelan.

"Kenapa?" jerit Ovie, kakinya terasa lemas.

"Dia mencoba bunuh diri, penyebabnya belum jelas, sebaiknya kita bergegas Vie." Lanjut papanya terisak.

"Ha? Bunuh diri? Kenapa dia berbuat bodoh begitu?"

"Papa belum tahu, ayo cepat Vie!" Ovie hanya mengangguk. Pikirannya kalut memikirkan nasib kakak satu-satunya yang hanya berbeda setahun darinya itu. Dengan tangan gemetar diraihnya gagang telepon dan segera memesan tiket ke Jakarta.

Kedatangan Ovie beserta papa mamanya ke rumah sakit rupanya terlambat. Tasya sudah memejamkan mata untuk selamanya 15 menit yang lalu. Mata sembab kedua sahabat sekaligus teman satu kos Tasya menyambut tibanya tiga orang terdekat Tasya dari Surabaya itu. Mama Tasya tumbang menerima kenyataan bahwa anak sulungnya sudah tiada. Papanya berusaha tegar dan segera menemui dokter. Tinggal Ovie yang duduk di tepi ranjang kakaknya, menangis tanpa suara mengelus tangan lentik yang sudah kaku itu. Tidak seharusnya Tasya meninggalkannya dengan cara seperti ini. Ia harus mencari tahu apa dan siapa yang harus bertanggungjawab karena merenggut kakak tercintanya itu.

Menurut cerita salah satu sahabatnya, dua minggu terakhir ini Tasya memang terlihat murung dan berbeda dari biasanya, dan puncaknya pagi itu, saksi mata sekaligus pengemudi sedan yang tidak sengaja menjadi penabrak Tasya menuturkan bahwa kondisi jalan raya cukup lengang pada pagi itu dan ia memang menyetir mobilnya dengan kecepatan cukup kencang mengejar waktu meeting di kantornya. Dari arah perempatan, Tasya muncul terus melangkah ke tengah jalan sambil menangis dan tidak memedulikan apapun. Sedan yang sedang meluncur kencang berusaha memberi tahu dengan mengklakson berulang kali namun gadis itu tetap berjalan menunduk dengan tatapan kosong. Jalanan yang masih menyisakan basah akibat hujan semalam membuat ban mobil selip, si pengemudi berusaha membanting stir namun mobil terus meluncur dan akhirnya menabrak Tasya.

Jenazah Tasya dibawa pulang dan dimakamkan di Surabaya. Ini sudah hari ketujuh Tasya meninggal. Ovie merenung di kamar kakaknya memandangi suasana kamar yang lengang karena sebagian barang Tasya masih ada di kosnya di Jakarta.

"De, makan dulu!" seru mamanya dari arah ruang makan. Ovie beringsut bangun. Jangkrik di perutnya memang sudah ribut memberi sinyal dari tadi.

"Duduk Vie, kamu seharian di kamar Tasya juga gak akan mengembalikan dia kesini kan?" tanya papanya menyendok nasi. Ovie menarik kursi dan duduk di seberang papanya.

"Pa, kapan barang-barang Tasya diangkut kesini?" Mamanya melirik Papa sambil menaruh sepotong ayam kecap dan sesendok capcay di piring suaminya itu.

"Papa belum tahu Ma, jatah cuti Papa kan kepakai kemarin ngurus pemakaman Tasya, Senin papa harus ke kantor dulu, banyak kerjaan yang tertunda." jelas Papa.

"Ngg Pa, gimana kalo Ovie aja yang beresin?" celetuk Ovie yang daritadi tidak semangat makan, hanya mengaduk-aduk capcay di piringnya.

"Maksudnya, De ?" tanya Mama meneguk air minumnya hingga tandas.

"Biar Ovie yang ke Jakarta, ke kosan kak Tasya, beresin semua barangnya, nanti tinggal diangkut pakai truk ekspedisi aja." Jelas Ovie meminta persetujuan orang tuanya.

"Kuliah kamu gimana?" tanya Papanya.

"Kan baru beres UTS Pa, lagi libur minggu ini, jadi gak masalah."

"Ya sudah, kamu atur aja." Ovie mengangguk tersenyum mendengar jawaban papanya.

Esoknya Ovie sudah berada di dalam kamar kos Tasya setelah hampir tiga jam perjalanan pesawat tadi pagi ditambah kemacetan menuju rumah kos kakaknya itu. Dipandangnya sekeliling kamar, dilihatnya foto mereka berdua di cermin rias. Tasya lebih pendek lima centimeter darinya, namun wajahnya sangat manis dan anggun. Beda dengannya yang tinggi semampai, wajah menggemaskan dan lebih sembrono. Ia mendesah dan perlahan air matanya jatuh lagi teringat kenangan bersama Tasya.

Ia tidak mau membuang waktu, diambilnya tas besar dari dalam lemari. Dihampirinya meja tempat Tasya menaruh buku-bukunya dan dimasukkan satu per satu buku itu ke dalam tas. Setelah semua tumpukan buku sudah berpindah, tangannya membuka laci meja dan merapikan berkas dan segala kertas yang ada. Saat ia mengeluarkan semua kertas itu, sebuah buku kecil terjatuh. Mata Ovie tertumbuk pada buku bersampul beludru warna pink pucat itu. Buku diary. Ternyata kakaknya masih suka menulis buku harian. Bukunya tak terkunci. Ovie yang penasaran tidak melanjutkan acara beres-beresnya. Ia malah tiduran di kasur sambil membaca diary Tasya.

Kebanyakan isi buku itu berisi curhatannya selama jadi anak kuliah yang jauh dari orang tua. Kerinduan pada rumah, masalah mata kuliah dan dosen, juga tentang teman-teman barunya. Ovie semakin tertarik membaca curhatan yang ditulis empat bulan lalu.

Aku gak tahu kalau kedatanganku di acara band kampus Sabtu kemarin akan meninggalkan kesan teramat dalam bagiku. Sebut aku norak, tapi bagi gadis pemalu sepertiku, dipanggil maju secara acak ke atas panggung untuk acara kuis oleh host berparas tampan merupakan berkah buat si introvert ini. Tangannya yang kokoh menarik lembut tanganku untuk naik ke panggung. Jujur aku gugup menjawab pertanyaan yang diajukannya. Matanya terlalu dalam menatapku, seperti menusuk, namun seolah memberiku keberanian untuk menjawab dan untung saja jawabanku benar.

Ia tersenyum , penonton bertepuk tangan karena aku berhasil membawa sebuah hadiah. Host tampan itu menjabat erat tanganku mengucapkan selamat dan memberikan hadiahnya. Aku hanya tersenyum tipis dan segera turun ke belakang panggung. Dadaku bergemuruh hebat. Aku bingung apa yang terjadi. Baru juga enam langkah aku meninggalkan area panggung, bahuku ditepuk dari belakang. Seketika aku menoleh dan badanku mendadak kaku.

"Hei, jalannya jangan cepat-cepat, hadiah lo ketinggalan nih." Cowok dengan mata tajam yang menusuk itu ada di hadapanku, menggoyangkan bungkusan hadiah di depan mataku.

"Eh?" aku mengerjap panik dan mengambil bungkusan hadiah itu lalu langsung berbalik.

"Eis tunggu dulu." Telapak tangannya yang besar menahan pergelangan tanganku yang kurus. Aku tersentak kaget dan kembali berbalik menghadapnya.

"Apalagi?" tanyaku dengan suara tercekat, bukan suara terbaikku.

"Lo lupa ini." Katanya menyelipkan sebuah kartu di tanganku. Aku mengernyit bingung.

"Kita bakal ketemu lagi, tunggu aja." Lanjutnya sambil mengedipkan sebelah mata tajamnya itu, lalu berbalik kembali ke arah panggung. Aku hanya terdiam dan memandang kartu di tanganku. Itu kartu namanya. Penyiar radio ZODA si host tampan tadi.

Namanya Acka.

*

TARUHAN -- (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang