S A T U

823K 41K 2.5K
                                    

"Zelia, sudah ratusan kali saya bilang untuk tidak menemui saya jika tidak ada hal penting."

Udah sering kok aku diomelin Mas Gavin. Kalau kata lagu sih, udah terlatih patah hati.

"Emang gak boleh ya Mas?"

Mas Gavin memasang wajah masamnya. Kenapa sih kalau ada aku gak bisa senyum? Siapa tahu kan kalau senyum, aku bisa tambah cinta. Hehe.

"Menurut kamu? Dua jam lagi restoran saya buka. Lebih baik kamu pulang, jangan ganggu saya."

Penolakan kedua kalinya.
Udah biasa kok.

"Mas, jangan lupa makan. Sering masak sampe lupa makan itu bego namanya."

Satu lagi, aku cukup bermasalah dengan mulutku yang terkesan cukup tidak sopan saat bertutur kata.

"Kamu sendiri masih disini padahal sudah diusir, lebih bego namanya."

Tapi jangan salah, Mas Gavin mulutnya lebih luar biasa pedas dan nyelekit daripada aku.

"Kenapa sih ngusir mulu? Kan aku udah jarang kesini."

Mas Gavin menghembuskan napasnya dengan kasar, "Seminggu 3 kali, kamu bilang jarang?"

Aku menganggukan kepalaku, "Iya. Dulu kan bisa setiap hari."

"Kamu kayak gak ada kerjaan aja."

"Kerjaan aku banyak, Mas." Jawabku tak kalah sengit.

"Kerjaan apa? Nulis cerita menye kamu bilang kerjaan?"

"Terserah. Dasar Mas aja yang gak punya hati."

Mas Gavin meletakkan pisau yang daritadi ia gunakan. Kini, tangannya dengan lincah beralih untuk menyiapkan bahan-bahan masakan lainnya. Sepertinya, Mas Gavin mau membuat sup.

"Mas..."

"Apalagi Zelia?"

"Gapapa, panggil aja."

Kami bertetangga. Mungkin sudah semenjak SMA, kita sudah lumayan dekat. Walaupun, arti dekat disini hanya aku yang memaksa dekat.

Orang tuaku dan orang tua Mas Gavin itu sahabat karib, makanya dulu aku sering disuruh main sama Mas Gavin.

Aku mah ayo ayo aja kalau disuruh main bareng Mas Gavin. Habis dulu jiwa jombloku kan akut, ngelihat yang bening ya langsung pepetlah.

Umurku dan Mas Gavin itu beda empat tahun. Orang tua aku juga sering tinggal di luar negeri karena urusan pekerjaan. Jadinya, aku sering dititipin di rumahnya Mas Gavin.

"Mas, kalau pulang masakin aku makanan ya. Mama gak pulang."

Kenapa obrolan kita terdengar formal? Iya, soalnya Mas Gavin itu tipe cowok kaku yang entah kenapa selalu membuat sebuah batas. Entahlah, padahal menurutku hubungan kami sudah cukup dekat. Bahkan sangat dekat.

"Sudah berapa lama?" Tanya Mas Gavin.

Masih tersisa waktu kurang dari dua jam sebelum restoran dibuka, jadi karyawan dan staff Mas Gavin masih banyak yang belum datang. Biasanya mereka datang satu jam lebih awal sebelum restoran dibuka.

"Sekitar satu bulan?" Ujarku sembari mengingat-ingat sudah berapa lama Mama gak pulang ke rumah.

"Kamu gak bisa masak sendiri? Udah gede gini, masih mau ada yang urusin?"

Aku tertawa pelan, "Bisa masak kok."

"Terus?"

"Kan ada Mas Gavin."

Mas Gavin menjitak kepalaku pelan. Pelan sih, tapi tetap aja sakit.

"Kamu pikir saya pembantu kamu?"

"Bukan. Mas itu malaikat aku yang menyelamatkan aku dari kejombloan yang hakiki." Ucapku.

"Kamu masih belum berniat pergi?"

"Mas beneran ngusir aku?"

Mas Gavin menganggukan kepalanya, "Iya."

Aku tersenyum pahit. Sebenarnya dari tadi aku sudah kehabisan topik. Aku hanya ingin berada dekat dengan Mas Gavin. Memangnya salah kalau ingin terus berada di dekat orang yang kamu cintai?

Sudah 5 tahun.
Selama lima tahun aku memendam perasaan menyebalkan ini kepada Mas Gavin. Sudah tiga tahun pula aku terus melakukan pendekatan terang-terangan yang malah ditolak mentah-mentah oleh Mas Gavin.

Sakit?
Iya.
Tapi entah kenapa, perasaan bodoh ini selalu membungkam apapun yang otakku perintahkan.

"Kamu gak kerja?" Tanya Mas Gavin saat mendapati aku yang sepertinya hanya diam setelah mendengar penuturannya barusan.

"Nanti aja. Nulis butuh inspirasi, Mas. Gak bisa setiap waktu. Makanya ini lagi nyari inspirasi."

Mas Gavin melihatku bingung, "Darimana nyari inspirasi? Kamu daritadi gangguin saya."

Aku tersenyum mendengar penuturan Mas Gavin, "Tuh tahu. Gangguin mas kan sumber inspirasi aku."

"Gak berniat cari pekerjaan tetap?"

"Enggak. Udah seneng kok gini aja. Nulis kan emang udah hobi aku, Mas."

"Sampe kapan kamu mau jadi penulis?"

"Sampe udah gak bisa nulis lagi."

Mas Gavin meletakkan alat masaknya, lalu bergantian menatapku dengan lamat.

"Saya tidak bisa urus kamu seumur hidup. Saya juga punya kehidupan pribadi."

Nyelekit. Kata-kata Mas Gavin itu selalu saja berhasil membuat hatiku tertohok dan terasa perih.

"Mas mau ngusir aku dari hidup Mas?"

"Saya gak bilang gitu. Kamu sudah dewasa, udah gede. Cari pekerjaan tetap, mandiri. Jadi penulis itu gak pasti." Pemikiran Mas Gavin itu emang kadang nyebelin banget.

"Mandiri? Biar aku gak ngerepotin Mas lagi kan? Mas ngerasa keganggu banget ya?"

"Iya."

"Aku gak minta Mas urusin. Kalau Mas merasa keganggu yaudah aku gak bakal ganggu lagi."

"Orang tua kamu yang minta. Mereka sudah titip kamu ke saya."

Hahaha. Jadi, selama ini perhatian Mas Gavin itu semata-mata hanya sebatas menjaga amanah dari kedua orangtuaku?

"Aku pulang." Ucapku lalu mengambil tas selempang yang tergeletak di meja dan menutup pintu restoran dengan sedikit kencang.

----

Haii, cerita baru sambil nunggu cerita Pak Arfa dan Elvia.

Happy reading!!!

My Annoying Chef [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang