Malam itu sudah mendekati pukul 22.00 ketika aku memutuskan untuk pulang ke Tegal. Ya, sudah sekitar seminggu ini aku berlibur di rumah Mbahku di Yogya. Sebuah kunjungan rutin yang biasa aku lakukan ketika liburan, kebetulan aku juga cucu perempuan satu satunya di keluarga Mbahku, tak heran, jauh sebelum liburanku datang mereka biasanya sudah segera memesan jadwal liburanku. Kadang aku juga merasa jemu dengan liburan di tempat Mbah, apalagi sekarang di SMA ku sedang banyak banyaknya kegiatan. Tapi mengingat bahwa mereka sangat merindukanku, ya akhirnya sering juga aku lakukan. Toh demi membahagiakan Mbah Kakung dan Mbah Puteri juga.Malam ini juga aku memutuskan pulang, karena besok hari aku sudah ditunggu oleh Roy, teman sekelasku, untuk acara persiapan Jambore Pramuka. Di samping itu kasihan juga kalau Ayah dan Bunda ditinggal lama-lama.
"Apa nggak bisa pulang besok saja Dik?" tanya Mbah Puteri sengaja mencegahku pulang, "lagipula sudah larut malam begini, sangat tidak baik kamu pulang sendirian."
"Nggak Mbah, Aku harus pulang malam ini. Besok pagi aku sudah ditunggu teman-teman Pramuka untuk persiapan Jambore. Ini penting sekali Mbah, karena menyangkut nama baik sekolah."
"Tapi kan ini sudah malam, temen temenmu pasti bisa menyadari keadaannya."
"Nggak Mbah, Aku harus pulang malam ini. Kasihan juga dengan Ayah dan Bunda ditinggal lama-lama." ucapku berkeras.
Sebenarnya Mbah Puteri paham betul dengan kepribadianku. Kalau aku sudah memutuskan sesuatu, takkan ada yang bisa mencegahnya. Namun naluri sebagai Mbah pasti akan sangat mengkhawatirkan cucunya bila pulang ke Tegal sendirian, apalagi pulang selarut ini.
"Kalau pulang sekarang Mbah, aku bisa sampai Tegal sekitar jam 06.00 pagi. Masih banyak waktu untukku bersiap-siap untuk acara Pramuka."
Akhirnya mau tidak mau Mbah pun merelakanku pergi. Beliau meminta Om Ramdan untuk mengantarku ke terminal bis dengan motor tuanya.
Om Ramdan kaget bukan main mengetahui rencanaku pulang malam malam, tapi ia juga sudah sangat paham kekerasan tabiatku. Akhirnya tak banyak kata, ia pun segera memanasi motornya untuk mengantarku ke terminal bis.
*****
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 ketika kulirik jam di pergelangan tanganku. Pantatku terpantul pantul di atas jok keras, berboncengan dengan motor butut Om Ramdan menuju terminal bis Umbul Harjo. Usia motor itu mungkin sudah hampir dua kali umurku, layak bila mesinnya pun sudah sangat renta dan seakan malas mengantar kami bepergian larut.
Malam ini cuaca di Yogyakarta cukup dingin, tadi sore juga baru turun hujan. Dari kejauhan jalanan nampak berkilat kilat memantulkan genangan air yang berpendar ditimpa cahaya lampu-lampu jalanan.
Angin malam ini cukup keras, menepuk nepuk pipi dan mengibar ngibarkan rambutku. Semakin kencang Om Ramdan melarikan motornya, semakin dingin rasanya tengkukku.
Aku membuang pandangan ke kanan, di kejauhan nampak pohon asam jawa menjadi pohon peneduh pinggir jalan. Lebih jauh lagi kulihat hutan kecil pohon cemara, yang nampak condong ke satu sisi karena diterpa angin malam. Di bawah pohon cemara itu ada lagi pohon pohon lain yang tak kukenal namanya. Mereka menjadi satu kesatuan hutan kecil, nan gelap dan kelam. Hutan itu meski kecil namun memanjang mengikuti panjangnya jalan. Perpaduan gerakan cemara dan pohon pohon di bawahnya karena angin bisa membentuk tarian yang aneh. Di beberapa bagian yg tidak terlalu rapat terkadang masih ada pendar cahaya di sela sela pohon. Muncul dan tenggelam, berkerlip. Seakan akan ada beberapa mata yang mengikuti pergerakan motor kami. Aku mengira itu cahaya bintang, namun karena lama kelamaan aku tak yakin karena cahaya itu lebih mirip mata. Ah, akhirnya aku kembalikan pandanganku ke depan.
Sekali kali motor tadi melewati genangan air di jalanan, seketika sebagian isi genangan menyerbu membasahi sepatu dan bagian bawah celanaku. Aku berdecak sebal. Namun Om Ramdan nampak tak terlalu peduli, dia sibuk mengendarai motor. Maklumlah, karena motor tua, penerangan jalanan yang remang ditambah lagi dengan lampu motor yang sudah uzur, dan aspal licin selepas hujan membuat Om Ramdan harus ekstra konsentrasi mengendalikan motornya.
Sebenarnya Om Ramdan bisa saja ikut mengantarku ke Tegal, namun akhir akhir ini Mbah Kakung sering sakit sakitan sedangkan Mbah Puteri juga sudah kepayahan mengurus Mbah Kakung. Jadilah Om Ramdan sebagai anak SIAGA (Siap Antar Jaga) seperti kata kata iklan itu.
Om Ramdan sudah hampir 40 tahun umurnya, namun sampai dengan umur itu dia tidak juga berumah tangga. Entah kenapa, padahal paras dia nggak jelek jelek amat. Badannya cukup tinggi, kulitnya bersih, mata agak sipit dan sendu. Mungkin kalau rambut gondrongnya dipotong pendek dan dirapikan dia akan sangat mirip dengan Park Young Joon, tokoh DraKor kesukaanku.
Kadang kalau dia bercanda masih nampak sisa sisa senyum manisnya, sambil tanpa sengaja memamerkan gigi gingsulnya sebelah kanan. Harus aku akui, dulu waktu muda Om Ramdan cukup rupawan.
Dia dulu sering touring ke banyak kota bahkan sampai ke luar pulau, tentu saja dengan motor tuanya ini, bersama dengan teman teman genk motornya. Sampai sekarang pun kadang kadang dia masih sering juga mengenang masa masa touring ke kota kota sekitar yang tidak terlalu jauh.
Rambut Om Ramdan juga berkibar kibar diterpa angin malam Yogya."Sudah hampir sampai Dik" teriak Om Ramdan, mengagetkanku, di sela sela deru mesin motor dan angin malam.
Aku hampir tersentak mendengarnya, lalu kusapu pandangan ke sekitar. Ternyata memang sudah hampir sampai Terminal Umbul Harjo Yogyakarta. Terminal itu nampak kelam dari luar, maklum selain karena malam dan bekas bekas genangan air hujan di sana sini. Pedangang asongan yang sudah mulai beranjak pergi, lampu lampu terminal juga temaram, seolah sudah malas menerangi sisa malam ini. Kulihat hampir tak ada bis yang parkir di apron terminal. Hanya beberapa angkutan kota dan bis bis kecil jurusan jarak dekat yang sebentar lagi beraksi mengantarkan pedagang pedagang sayur ke Pasar Beringharjo.
****
To be continued 😀
Jangan lupa vote dan komen ya!
Semoga suka sm ceritanya:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Penumpang Terakhir
Horror... Semenjak langkah pertama memasuki bis itu hawa dingin langsung menyergap menusuk kulit. Bis itu sudah renta, interiornya lebih mirip bis akhir 70 an. Hanya ada beberapa penumpang di dalamnya. Aku melihat wajah wajah penumpang yang acuh, dingin...