Bagian 3

141 4 5
                                    


Seharian ini aku memang penat sekali. Mulai dari subuh sudah jalan jalan dengan Mbah Puteri ke pasar, lanjut siang harinya berkunjung ke beberapa kerabat Mbah dan sampai malampun beberapa tamu yang mengunjungi rumah Mbah Kakung masih ada. Sampai saat aku memutuskan untuk pulang Tegal pun seorang tamu Mbah Kakung baru saja beranjak pamit.
Belanja, masak, membuat minuman, menyajikan pada tamu, bercengkerama dengan beberapa kerabat yang Mbah kenal menjadi menu harian bila aku berkunjung ke Yogya.

Maka ketika aku memutukan pulang Tegal, dan mendapat tempat duduk di bis, rasa penat dan kantuk langsung menyergap. Tak kuasa lagi kutahan.

Sekejap memejamkan mata aku langsung tertidur, mungkin kesibukanku seharian tadi membuatku untuk mudah tertidur,  tidur lelap yang dalam, sangat dalam.  Sesekali kepalaku bergoyang kanan kiri mengikuti arah laju bis. Angin yang agak deras dari pintu kondektur menyapu wajahku sesekali. Namun aneh, rasa dingin ini tak mau pergi, bahkan semakin dingin, hingga badanku menggigil.

Semakin lama angin semakin deras dan hawa dinginpun semakin kuat mencengkeram sekujur kulitku. Pipiku sedingin tomat di dalam pajangan etalase supermarket, lenganku menggigil, tanganku kisut, sedang kedua telapak tanganku sudah sedari tadi berlindung di balik saku saku jaket tebal. Membuatku semakin larut dalam tidur, hingga tiba tiba di dalam alam bawah sadarku yang gelap, aku seperti melihat secercah sinar.

Sinar yang sangat kecil itu bergerak gerak kiri-kanan, sesekali diam tak bergerak. Kadang bergerak lagi, kiri-kanan dan lalu diam lagi tak bergerak. Cukup lama aku memperhatikan sinar itu bergerak gerak, aneh. Lama kelamaan sinar itu seperti semakin membesar, hingga akhirnya aku menyadari bahwa sinar itu diam saja, namun diriku lah yang bergerak.

****

Dulu aku pernah punya teman seorang masinis, suatu malam dia mengajakku naik ke dalam lokomotif menemaninya mengendalikan kereta besi. Sebuah tindakan yang melanggar hukum, tentunya. Karena hanya masinis dan asisten masinislah yang berhak masuk ke ruangan tersebut selagi kereta api berjalan. Namun kecintaanku terhadap kereta api membuatku nekat untuk mengiyakan ajakan temanku tersebut dan melanggar aturan.  Di dalam lokomotif yang bergerak itu seluruh ruangan nampak gelap, nyaris tanpa penerangan. Hanya panel panel di depan tangan kita saja yang dilengkapi lampu lampu kecil untuk memudahkan masinis dalam mengendalikan kereta besi ini.

Di muka kita, di depan kaca lokomotif, tersaji suatu pemandangan yang luar biasa. Dengan diterangi lampu berkekuatan 1.500 watt di atap lokomotif, kita bisa melihat sepasang rel besi  sejauh 800 meter di depan, yang akan kita lalui. Hanya sepasang besi saja yang nampak, sedangkan beton yang biasa menjadi bantalan rel hanya sayup sayup nampaknya, karena gelap malam dan kecepatan kereta api. Rel besi dan sinar lampu 1500 watt itulah yang menemani perjalananku bersama masinis.
Rel itu kadang lurus saja sejauh mata memandang, dengan sinar lampu lokomotif meneranginya. Kadang bila rel berkelok kiri atau kanan maka lampu di atas lokomotif juga seolah olah mengikuti kelokan rel tadi. Suatu saat kereta api kami memasuki terowongan menembus perut bukit di daerah Sukabumi. Hanya rel, sinar lampu dan lebar terowongan menjadi satu satunya hal yang nampak di depan mata. Seperti lingkaran hitam dengan sinar kecil di tengahnya, yang kadang bergerak ke kanan-kiri mengikuti arah kelokan terowongan.

Sepanjang terowongan itu, bila kita lihat sekeliling, semuanya nampak gelap. Kanan, kiri, atas, bawah, belakang seluruhnya hitam kelam. Kita seperti berdiri di antara kegelapan mengejar sebuah sinar di pelupuk mata. Di dalam lokomotif itu, di tengah perut terowongan, di antara kegelapan dan hanya satu sinar di depan. Sebuah situasi yang aneh, dingin, hening dan kelam. Situasi itulah yang kini aku rasakan dalam bis di perjalanan pulang ke Tegal malam ini.

****

Aku tanpa sadar mengikuti gerakan sinar dalam tidurku tadi. Bila sinar tadi bergerak ke kanan, maka ekor mataku akan mengikuti ke kanan. Demikian juga bila sinar itu bergerak ke kiri, maka ekor mataku tanpa sadar akan mengikuti bergerak ke kiri. Kadang-kadang sinar tadi bergerak ke bawah dan atas, diikuti dengan gerakan ekor mataku. Situasi ini mirip sekali dengan perjalanan dalam lokomotif, bersama temanku di perut suatu bukit di daerah Sukabumi waktu itu.

Penumpang TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang