Bagian 2

141 6 1
                                    

Aku segera turun dari motor ketika Om Ramdhan sudah memarkirkan kendaraannya. Kusapu pandangan ke seluruh tempat parkir bis, ternyata parkiran kosong.
“Wah bakalan nunggu lama nih” pikirku dalam hati.

Lalu Om Ramdhan mengajakku masuk ke areal terminal, lalu mencari tempat duduk sambil menunggu bis datang. Tidak sulit rupanya menemukan tempat duduk yang kosong. Maklum jam sudah menunjukkan pukul 23.15 waktu itu. Tentu saja sudah jarang sekali orang-orang yang akan menggunakan jasa transportasi. Lalu kami berdua pun duduk di satu bangku yang kebetulan dekat dekat papan nama parkiran bis, yang menunjukkan jurusan ke Tegal-Cirebon. Sengaja kami pilih bangku itu agar bila ada bis jurusan ke barat yang masuk, kami langsung bisa mengenalinya, sehingga mengurangi resiko ketinggalan bis.

“Kalau malam-malam gini bis suka malas berlama lama parkir, Dik. Makanya kita pilih bangku ini biar nggak ketinggalan” terang Om Ramdhan.

“Betul itu Om,” ujarku membenarkan Om Ramdhan.

****

Baru beberapa saat saja kami duduk di bangku tersebut, belum sempat kami bercengkerama sana sini, dari kejauhan kami lihat sebuah bis masuk. Jalannya manggut manggut melalui jalan jalan berlubang penuh kubangan. Dilihat dari ukurannya bis tersebut tidak terlalu besar, lebih mirip bis model lama. Sebagian besar tubuh bis ini berwana putih, diselingi garis garis gelap memanjang dari pintu penumpang depan menuju pintu penumpang belakang.

Tidak seperti bis model sekarang yang bentuk badannya melengkung lengkung tanpa sudut, bis ini hampir berbentuk kotak. Kaca depannya berupa bangun datar saja, tanpa aksen melengkung. Lampu depannya pun hanya dua buah lampu berbentuk bulat di sisi kanan dan kirinya. Ada hiasan garis garis di bagian hidung depan bis tersebut, dan sebuah lambang bis yang menerangkan suatu produsen otomotif terkemuka dari Jerman. Jendela jendelanya juga lebar sekali, dari luar kita bisa melihat badan penumpang. Tidak seperti bis sekarang yang dari kacan luarya kita hanya bisa melihat kepala penumpang saja. Kursi kursi tempat duduk berjejer rapi, nampak jelas dilihat dari luar. Dan yang lebih gila lagi, bis ini tidak dilengkapi AC.

Oh my God! Bis jarak jauh antar kota tanpa AC?

Aku nyaris tak percaya melihatnya, bagaimana mungkin ada bis model begini masih beroperasi, ini benar benar old fashioned kalau tidak mau menyebut kuno.  Mungkin kita biasa melihat bis model begini di awal tahun 80 an, tapi ini tahun 2019 dan kita masih bisa menikmati mengendarainya. Aku bingung, apakah aku beruntung atau justru sial mendapatkan bis model begini malam ini.

“Kira kira naik bis beginian sampai Tegal jam berapa yah”

“Kira kira bis beginian bisa sampai Tegal nggak yah”

“Kira kira bis ini mogok nggak yah?” demikian pertanyaan pertanyaan tersebut berkecamuk memenuhi pikiranku.

Bagaimana tidak, masuk ke areal terminal saja manggut manggut begitu. Tidak meyakinkan sama sekali, layak saja aku menyangsikan kemampuan bis ini.

****

“Mau ke mana Mbak?” tanya seorang pria yang kemudian aku anggap sebagai kondektur bis tersebut. Orang itu baru saja turun dengan setengah meloncat dari bis tadi. Dia menatapku serius.

“Tegal” jawabku tak kalah serius. Sambil kulirik Om Ramdhan. Tapi Om Ramdhan tidak memperhatikanku. Dia malah sibuk memainkan gadgetnya.

“Oh Tegal, kebetulan ini bis ke Cirebon. Ayo naik Mbak. Ini bis terakhir malam ini.” terangnya.

Wow, bis terakhir rupanya. Oke lah aku segera beranjak dari tempat dudukku, kurapikan baju, kusisir rambutku sebentar dengan jari jemari tanganku, lalu kusandang tas ranselku.

Penumpang TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang