Chapter 3

28 0 0
                                    

Takdir, kapan bahagiaku datang?

Chaca menatap malas televisi yang kini berada dihadapannya. Hari ini, Sunday seperti biasanya, Chaca hanya bermalas-malasan di rumah. Dan jelas saja seorang diri. Sudah satu bulan terakhir orang tuanya tidak menginjakkan kakinya di rumah. Chaca hanya mendapat pesan-pesan singkat dari sang Mama yang berisi bilangin sama Bibi malam ini gak pulang, atau mobilnya jangan lupa diservis, dan kadang mama udah kirimin uang jajan. Bukankah harusnya ia mengirimkan pesan yang berisi perhatian seorang Ibu kepada anaknya? Tapi ini apa? Mobil? Bibi? Uang jajan? Chaca jelas tidak membutuhkan segalanya. Chaca hanya membalas pesan Mamanya lebih singkat, seperti iya, siap,atau pasti. Chaca menghela nafas panjang dan terus menatap kosong kearah televisi.

"Non, ada kiriman" ucap Bi Ida memecahkan perhatian Chaca yang menatap kosong kearah televisi.

"Kiriman?" Chaca bertanya. Bi Ida mengangguk dan memberikan bingkisan berwarna biru itu kepada Chaca. Chaca mengerutkan dahinya bingung.

"Dari siapa Bi?"

"Entahlah non, tidak ada nama pengirim diluarnya. Buka aja siapa tau didalamnya ada surat atau nama pengirim" terang Bi Ida menjelaskan. Chaca mengangguk mengiyakan. Daripada harus penasaran sendiri, lebih baik dibuka.

"Yaudah makasih Bi"

"Trimakasih kembali Non, Bibi ke belakang dulu" pamit Bi Ida seraya meninggalkan Chaca sendiri di depan televisi. Chaca membuka bingkisan biru berbentuk kotak itu dengan penasaran. Matanya terbuka sempurna ketika melihat isi bingkisan itu, boneka kesukaannya doraemon.

"Bagaimanabisa seseorang tau apa yang gue suka sementara gue sendiri gak pernah ceritakesiapa pun, bahkan Clara sekalipun" ucap Chaca sambil terus memperhatikanboneka kecil berkarakter kucing biru tersebut. "atau mungkin Cuma kebetulansaja" lanjutnya kembali setelah membuang jauh-jauh pikiran sebelumnya. Chacaterus merogoh setiap sudut kotak yang ia dapat, mencari keberadaan namapengirim. Chaca menggoyang-goyangkan kotak yang berwarna biru ditangannya,tiba-tiba secarik kertas terjatuh tepat dihadapannya. Chaca membuka denganpenasaran kertas yang berasal dari kotak tadi dan membacanya dengan cukupjelas.

Jangan pernah berhenti tersenyum, karena tak kau tau setiap kau tersenyum seluruh dunia turut tersenyum bersamamu

Chaca dibuat ternganga oleh surat yang ia dapat dari kotak kecil berwarna biru tadi. Chaca terus memperhatikan boneka berkarakter kucing biru yang dihiasi senyum lebarnya tanpa henti. siapa yang udah ngirim boneka ini? Kenapa harus boneka kesukaan gue? lalu senyum? Chaca terus memikirkan banyak hal yang hadir hanya akibat bingkisan kecil ini. Dia tidak tahu harus bagaimana menanggapi hadiah tanpa nama pengirim ini.

"Gue simpan aja, paling cuma kebetulan" ucapnya seraya bangkit dari sofa yang tengah ia duduki beberapa saat terakhir. Chaca melangkah menuju kamar tidurnya yang begitu nyaman. Nuansa biru yang begitu lembut menghiasi seisi ruangan. Tempat tidur yang berukuran normalsize dengan penadah kepala doraemon terletak di ujung ruangan. Ruangan yang begitu nyaman bagi Chaca.

Chaca meletakkan kotak berisi doraemon lucu yang ia dapat kedalam lemari bersama koleksi bonekanya yang lain. Chaca melagkahkan kakinya menuju kamar mandi. Berendam mungkin bisa buat gue lebih tenang, batin Chaca ketika tubuhnya mulai terkulai diatas bathup miliknya. Ia membiarkan jasmani dan rohaninya direfresh sejenak. Ia sangat lelah akhir-akhir ini. Belum menghadapi kedua orang tuanya, belum menghadapi Dino dan Vino, juga kejadian demi kejadian yang selalu menimpanya. Chaca berendam selama beberapa saat hingga kesadarannya hilang.

Setelah merasa lebih segar, Chaca bangkit dari bathup hanya mengenakan handuk yang menutupi sebagian tubuhnya berjalan santai menuju lemari pakaian yang tepat berada di depan kamar mandi. Chaca memilih memakai baju kaos santai dengan celana pendek diatas lutut. Setelah berendam cukup lama, perut Chaca mengadu lapar. Ia berjalan santai menuruni anak tangga menuju meja makan. Chaca melirik sekilas kearah sofa yang menampakkan kedua orang tuanya dan seorang laki-laki yang membelakanginya. Rasanya tidak asing, tapi ia mengabaikannya. Sejak kapan mereka ingat pulang? Mereka pikir ini hotel dijadikan tempat singgah. Benar-benar tidak pantas disebut rumah, batin Chaca seraya melongos kearah meja makan. Chaca memanggil Bi Ida dengan sedikit berteriak. Ia butuh makanan saat ini untuk mengisi perutnya yang kelaparan.

BahagiakuWhere stories live. Discover now