Novie 1

1.8K 110 14
                                    

"Bapak Rendra mau di situ sampai kapan? Bel istirahat sudah berdering dari tadi."

Suara serak membuat wajah terangkat dari tumpukan buku folio. Pulpen hitam kuletakkan di tengah lembaran putih yang membuat pusing kepala. Sore ini aku harus merekap nilai anak-anak SMK Srikandi.

Aku hanya memandang Rea, ketua kelas Ill Akuntansi yang berdiri di depan mejaku sambil bersedekap. Mata bulatnya menantang. Gadis manis berpotongan sasak sebahu itu memang terkenal kurang sopan.

"Saya sedang mengoreksi pekerjaan kalian."

"Setelah istirahat waktunya pelajaran olahraga, Pak."

"Lalu?"

"Kami mau ganti baju."

Ups! Aku lupa! Sekarang hari Kamis. Kuedarkan pandangan, hampir semua siswi masih berada di kelas. Seragam olah raga sudah tergeletak di atas meja. Biasanya mereka memang berganti baju di dalam kelas. Entah siapa yang memulai. Apa mereka nggak malu?

"Kalian ganti di kamar mandi saja." Aku mengerahkan semua kewibawaan.

"Baunya pesing, Pak. Bapak keluar saja, kerjakan itu di kantor." Tunjuk Rea. Bibirnya berdecap.

Aku bergeming. Semakin lama remaja ini semakin tak punya sopan santun. Pantas saja hampir tiap semester ada guru yang keluar. Hampir dua bulan aku mengajar, menggantikan saudara yang sedang sakit. Rasanya memang tak nyaman. Apalagi ini pengalaman pertama mengajar sejak aku lulus setengah tahun lalu.

"Terserah Bapak."

Rea kembali ke tempat duduknya di bangku urutan kedua dari depan. Sambil menatapku, ia mulai membuka kancing seragamnya. Diikuti siswi yang lain. Wah! Benar-benar gila. Wajahku terasa panas. Dalam dua detik, aku melesat pergi keluar kelas. Tanpa menoleh ke belakang.

Lupa membawa buku tugas anak-anak.

Kamvreto!

***

Para guru banyak mengeluh tentang kenakalan siswi angkatan pertama sekolah Srikandi. Kepala sekolah mendamaikan hati mereka. Beliau berkata bahwa wajar kalau anak pertama berbuat onar, mereka harus dirangkul dan dibimbing untuk mempersiapkan ujian negara. Nama baik sekolah dipertaruhkan. Bila lulusan pertama memuaskan, maka akan banyak orang tua yang berminat menitipkan anak-anaknya di sekolah ini.

Rea salah satu siswi unggulan. Meskipun agak berandal, nilainya selalu bagus. Di antara teman-temannya, ia yang paling bersinar. Gadis manis berdagu lancip dan bermata setajam pisau cukur.

Aku mengempaskan pantat di atas kursi. Memerhatikan halaman sekolah dari dalam ruang guru. Kebetulan mejaku dekat dengan dinding kaca bening. Bisa melihat kelakuan para murid Srikandi yang ajaib.

Sosok Rea berkelebat. Ia berlarian sambil memainkan bola basket sendirian. Wajahnya serius menatap ring. Dia mengambil ancang-ancang hendak melempar bola ke dalam keranjang. Matahari sore membuat rambutnya bersinar keunguan.

Bukannya memasukkan bola, dia menoleh. Mata kami bertemu. Netranya menembus jantung. Aku berlagak cuek, padahal detakan dalam rongga bertalu-talu. Rea menjulurkan lidahnya. Ia berlari menuju teman-temannya.

Hah. Apa itu tadi? Kenapa aku jadi panas dingin begini.

***

Di antara kabut tipis, Rea tersenyum, menunjukkan gingsul kecil di sudut bibir. Gadis itu mendekat sambil membuka satu persatu kancing bajunya. Aku meraih tubuhnya dan kami melayang ke angkasa.

Kabut itu perlahan memudar. Aku membuka kelopak mata. Plafon putih menyambut. Tanganku meraba ranjang. Tak ada Rea.

Ternyata hanya mimpi.

Rearen (Sudah Terbit) Part Tidak DihapusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang