Shophia 8

718 80 8
                                    

Kutonjok muka Sarah sebal, karena dia terus nyinggung tentang celana Pa Rendra.

"Aku sih bukan cinta sama Pak Rendranya, tapi sama Mamanya, baik banget." Saat bicara begini wajah Tante Zizi melintas, tersenyum manis ke arahku. Aku membalasnya, lalu kami berpelukan, serasa mantu dan mertua baik hati di sinetron Indonesia.

Sayang tiba-tiba wajah Pak Rendra nongol, mamerin taring ala srigala gitu.

"Astaghfirullah!"

"Kenapa loe Re?" Dewi mendekat.

"Paling ngebayangin waktu di kiss Pak Rendra di mobil pas mo turun, yakin gue." Sarah beropini.

Gila! Sotoy markotoy banget nih bocah, pantes aja nilainya jeblok terus, wong hobinya ngarang.

"Salah, pasti gara-gara mikirin hangatnya celana Pak Rendra pas pertama dipake." Nay menyela.

Elah, ini bocah giliran belajar aja gak nyambung tapi kalau masalah cinta otaknya kek bensin ketemu api, nyamber terus.

"Ih, dasar kaum kevo, otaknya udah pada konslet, yang ada di kepala kalian tuh mesum semua. Asal kalian tau pak Rendra tuh baik banget, pengertian, sopan, yang pasti sih romantis abis!" jawabku tegas, sesaat setelah kulihat bayangan tetap itu tengah melihat geng Kucrit curcol pagi ini.

Dengan hati berdebar aku harus bisa mengatur strategi.

Sebisa mungkin harus juga merubah omongan yang akan kukeluarkan tentang Pak Rendra.

"Pak Rendra itu, manis, sayang mamanya, baik hati, jujur, berani dan setia."

"Ea ... Ea!" seru Dewi.

Sarah melongo mendengar tiba-tiba aku memuji Pak Rendra.

"Iya, serius deh. Pak Rendra itu bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Suci dalam pikiran, perkataan dan ...!"

Lalu ...

"Dasar, murid nakal." Pak Rendra menggetok kepalaku.

"Aduh, sakit sayang! Eh Pak." Aku gelagapan. Lalu melanjutkan ucapanku.

"Perbuatan." Kututup mulutku.

Geng Kucrit kompak ngakak.

"Tau tuh Pak, hajar aja Reanya, dia tadi bilang bapak itu nakal tau." Sarah meleletkan lidah.

"Bohong, Pak, sumpah, berani di kutuk jadi miss universe deh." Aku mengangkat dua jari.

Pak Rendra tersenyum, cuek.

Cool banget gayanya, aku jadi ser-seran.

"Sudah, sudah, masuk, ngobrol aja, gimana mau majunya bangsa ini kalau anak sekolahan kayak kalian semua." Hardik pak Rendra, dengan rona wajah dibuat agak emosi.

Tapi kata pertama yang dia ucapkan kok mirip iklan partai politik yang alaynya kuadrat itu ya.

"Iya Pak, maaf kita juga mau masuk nih." Serempak Geng Kucrit bangkit dan berjalan menuju kelas, setelah bersalaman dengan pak Rendra.

"Rea."

Aku menoleh, sedangkan teman-teman langsung berseru. Cie-cie.

Entah apa maknanya, kosa kata yang mengandung banyak arti ini terdengar menyebalkan saat ini.

"Jam delapan aku tunggu di kafe pinggir minimarket ya, ada yang harus kita bicarakan," ujarnya, langsung beranjak meninggalkanku yang termagu.

Dadaku berdebar kencang.

Rearen (Sudah Terbit) Part Tidak DihapusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang