Astaghfirullah.
Sungguh manis gadis yang duduk di sebelahku ini. Apalagi saat membayangkan kejadian ajaib insiden celana takut melorot barusan. Suwer terkewer-kewer lucu sumpah. Aku mau ngakak, tapi nggak sampai hati. Demi melihat wajah Rea yang merah udang rebus. Terpaksa kutahan-tahan suara tawa sekuat tenaga. Hingga sampai di belakang kemudi mobil.
Namun ....
Diuut. Dut. Tiiiit.
Hasem! Kentut kecil lolos dari himpitan dua daging bagian belakang. Rea melirik sadis sambil menutup hidungnya.
"Kentut kecil biasanya bau, Pak. Sekalian aja yang gede. Biar plong." Suaranya sengau manja.
Tawaku pecah. Rea memukuli bahuku bertubi-tubi.
"Pak Rendra! Suka amat godain perawan?"
"Emang masih perawan, Re? Hahaha!"
"Masihlah, tersegel dengan rapi."
"Hohoho."
"Nggak percaya?"
"Nggak!"
"Widih Pak Rendra! Nakal, ih."
Kembali ia memukuli pundakku. Bibirnya mengerucut monyong sekali. Aku menghidupkan mesin setelah memberi uang parkir. Mobil berjalan membelah jalan aspal menuju rumah Rea.
"Percaya-percaya. Kamu itu gadis yang baik, Re. Makanya rajin belajar saja. Jangan suka tawuran, apalagi membully teman. Itu nggak baik."
"Mereka jual, aku beli, Pak. Pantang bagiku cari masalah. Jaman now harus pandai menjaga diri, Pak. Apalagi aku anak seorang penjual kue. Kalau nggak kuat tenaga dan mental bisa-bisa aku yang jadi bahan bully-an." Rea membela diri.
"Jangan keterlaluan, Re. Semua yang terlalu itu pasti balasannya lebih barat. Bapak yakin kamu gadis yang baik. Kalau bisa kamu harus kuliah, Re. Sayang banget otak encer kalau nggak dipakai buat kuliah. Kamu juga bisa membuat nama orang tuamu jadi harum dengan mengenyam pendidikan tinggi. Tahu sendiri, kan, pandangan masyarakat kita. Ijazah sangat berpengaruh terhadap status sosial. Siapa tahu di kampus nanti, kamu akan bertemu dengan lelaki yang baik, Re."
Gadis berambut lembut itu menatapku, pandangannya berkaca-kaca. "Aku juga ingin kuliah, Pak. Tapi aku melihat orang tua juga. Mereka nggak akan sanggup membiayai kuliahku. Sebagai anak sulung dengan dua adik yang masih SD rasanya nggak pantas aku menerima kemewahan mengenyam bangku kuliah. Bila kuliah harus dari hasil jerih payahku sendiri, Pak."
Kami terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Nggak nyangka ternyata Rea lebih dewasa dari yang terlihat. Memang dia terkesan tengil, agak-agak preman, tetapi di dalamnya terdapat wanita dewasa yang siap mengarungi kehidupan keras selepas duduk di bangku SMK.
"Kuliah saja, Re. Aku mau membantumu. Kamu bisa jadi karyawanku di foto kopi Rendra Jaya."
"Apaan itu, Pak?"
"Usahaku bareng teman."
"Bapak nggak jadi guru lagi?"
Aku mengendikkan bahu, "Entahlah, Re. Teman-temanmu itu ganas-ganas. Jujur saja aku kewalahan menghadapi gadis-gadis SMK Srikandi. Terutama kamu, Re. Badung banget. Hahaha."
Rea membuang muka, "Cih. Apa bukan karena gajinya kecil, Pak?"
"Tahu apa kamu tentang gaji guru, Re? Gaji kami itu besar lho. Ada kali dua puluh juta." Aku berseloroh.
"Bohong! Aku pernah ngintip slip gaji guru. Kepseknya aja dapat cuma sejuta lebih dikit, apalagi gurunya. Hahaha."
Kutoyor kepala Rea, "Awas bintitan. Gaji guru itu sejuta tunai di dunia, sembilan belas juta ditabung di akhirat, Re."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rearen (Sudah Terbit) Part Tidak Dihapus
Teen FictionKolab Novie dan Shophia. "Aku mau menikah sama Pak Rendra." Rea melamar guru akuntansinya. Di rumahnya pula! Cerita koplak tentang masa SMA. Kisah cinta antara guru dan murid yang konyol.