2.

30.2K 1.6K 87
                                    

Kedua tanganku masih mengepal erat. Bayangan bahwa aku harus menuruti apa maunya Jonathan untuk kembali mengulang kejadian tadi malam sangatlah memalukan. Aku marah. Beraninya Jonathan memperlakukan aku seperti seorang pelacur.

"Aakkhh!!" teriakku tidak terima.

Aku merangkak naik ke atas tubuhnya yang masih telentang di depanku. Dia sedikit terkejut tetapi aku masa bodoh. Aku tidak peduli apakah aku tidak mengenakan dalaman dan hanya bathrobe saja. Dia benar-benar melecehkanku dengan lidahnya yang tajam! Kutarik rambutnya keras-keras sampai dia meringis. Lalu sebelah tanganku yang tidak menarik rambutnya berusaha keras untuk mencekik lehernya. Kalau bisa sampai putus. Shit! Bisa kurasakan pantatku yang telanjang bergesekan dengan otot perut Jonathan.

"Jangan harap aku mau nurutin kamu!!"

"Sak-it, Dana," geram Jonathan menahan rasa panas yang mendera kepalanya.

"Rasain! Kamu pikir aku takut sama kamu, hah?! Dasar baji—aakkh!! Jonathan brengsek!"

Makianku pada lelaki pervert yang sedang kutunggangi ini terpotong karna tangan laknat Jonathan. Dia tersenyum miring begitu aku meloncat untuk turun dari atasnya. Sialan, kedua tanganku gemetaran. Antara menahan marah dan juga rasa malu yang barusan kuhadapi. Jonathan barusaja meremas sebelah pantatku yang masih telanjang hanya tertutupi jubah bathrobe. Dia bangkit untuk mengambil posisi duduk di pinggiran ranjang. Sekarang rambutnya acak-acakan karena tadi kujambak. But, damn it! Kenapa dia justru terlihat lebih seksi sekarang? Rambutnya acak-acakan, bagian dadanya yang lebar banyak menyimpan luka cakaran dari kukuku semalam. Jonathan ... dia seperti malaikat yang pulang dari neraka.

"Lakukan itu sekali lagi, bukan hanya pantatmu yang akan kuremas!" kecamnya lalu bangkit dari atas tempat tidur.

Sialan. Aku malu sekali. Kututup wajahku dengan kedua tanganku sambil mendesis malu. Bodoh! Bisa-bisanya aku bertindak konyol seperti tadi. Naik ke atas Jonathan hanya mengenakan bathrobe?

"Pakai ini," kata Jonathan tiba-tiba membuatku melirik dari balik telapak tanganku. Dia menyodorkanku sebuah paper bag bertuliskan brand underwear terkenal.

Aku langsung mengambilnya cepat. "Bajuku?"

"Bukan."

"Terus bajuku mana??"

Jonathan hanya mengedikkan kedua bahunya sekilas. Dia pergi mengambil tablet yang baru kusadari berada di bawah bantalnya, lalu pergi keluar kamar. Meninggalkanku sendirian yang melongo setelah melihat bahwa isi paper bag ini hanyalah dua pasang underwear dengan ukuran satu nomor lebih kecil daripada ukuran underwearku. Aku langsung merosot jatuh terduduk meratapi dua pasang underwear itu. Dia itu maunya apa sih? Kalau tidak bisa beli underwear, ya jangan beli dong. Kalau seperti ini 'kan yang dirugikan aku. Siapa juga yang nyaman mengenakan underwear sempit.

Kujejakkan kedua kakiku seperti anak kecil sedang merengek. Dia hanya membelikanku dalaman, tidak dengan bajunya. Jadi aku harus memakai baju apa? Niat sekali dia membuatku telanjang seharian nanti.

"Otak mesum!" gerutuku lalu segera mengenakan underwear itu dengan sedikit tidak nyaman.

Mau bagaimana lagi. Aku tidak punya pilihan lain selain mengenakan ini. Lagipula aku tidak akan pernah mau diperdaya Jonathan lagi, kecuali .... Ah, nggak! Jonathan tidak boleh menyentuhku lagi.
Kulirik dua buah payudaraku yang benar-benar terlihat menyembul sangat bagus saat mengenakan bra sempit ini. Kupikir bathrobe saja tidak akan bisa menutupi belahan payudaraku. Aku butuh baju. Bisa-bisa Jonathan semakin lepas kontrol nanti kalau aku masih mengenakan jubah mandi. Kedua mataku bergerak liar. Ini kamar Jonathan, 'kan? Senyumku langsung terbit begitu menyadari satu hal. Tidak mungkin seorang Jonathan tidak memiliki kaos atau mungkin setelan piyama.

• Meant To Be •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang