21.

15.2K 1K 139
                                    

Before we met, I'm the lord of woman. I'm, Jonathan Anderson.

Aku sangat butuh ke kamar mandi. Tetapi seseorang tanpa ijin menggunakan kamar mandiku dengan sangat tidak sopan. Telingaku mendengar suara gaduh dalam toilet. Bukan berniat untuk mengintip, aku hanya ingin mengecek apakah suara gaduh tersebut berasal dari orang kantor yang tidak sopan atau memang tamu dari Om Frans. Dan mataku menyorot tajam begitu melihat seorang wanita sedang memunggungiku di dalam kotak toilet.

Sexy. Detik itu juga aku membayangkan satu udang besar dilumuri saus tiram yang lumer mengotori garpu saat aku melihatnya. Apalagi dengan zipper rok span yang belum dinaikkan. Aahh, rasanya aku ingin melumatnya habis-habis.

Tetapi, detik kemudian wanita itu menoleh padaku. Dia terkejut dan berteriak lantang. Aku masih memaafkannya saat dia berteriak, tetapi tidak dengan dia yang mendorong pintu keras-keras sampai mengenai wajahku.

"God damn it!" geramku sambil memegangi hidungku sendiri yang terasa berdenyut kencang.

Wanita gila, batinku dan lebih memilih untuk pergi saat itu juga. Niatku untuk menggunakan kamar mandi pupus sudah. Aku pergi keluar toilet dengan pucuk hidung memerah. Bukan, bukan hanya pucuk hidungku. Tetapi keseluruhan dari wajahku.

Aneh, aku merasa sangat terbakar setelah menemukan seorang wanita aneh menggunakan kamar mandi kantorku.

Aku tidak menyadari tentang sesuatu bahwa aku mulai tertarik pada wanita tadi. Meskipun kami belum bertegur sapa sama sekali, bahkan aku yakin dia tidak melihat wajahku dengan jelas tadi. Jadi, aku menunggu sedikit lama untuk mengetahui siapa wanita itu. Beberapa menit kemudian, wanita mungil itu keluar. Dia celingukan entah mencari apa. Aku masih tetap bersembunyi di samping lorong penghubung lift dengan ruanganku.

"Cantik," bisikku begitu melihat lekat-lekat wajahnya.

"Sialan, siapa sih yang ngintipin orang pipis?!"

Aku mendengus kecil, lucu mendengar gerutuannya yang mengiraku ingin mengintipinya buang air kecil tadi.

Siapa dia?

Jadi, saat wanita mungil itu pergi memasuki lift, aku tetap diam di tempatku, mengamatinya. Dan begitu lift tertutup, aku menyusulnya. Aku berdiri tepat di depan lift yang tertutup sambil memicing menatap bagian atas lift. Wanita itu pergi ke lantai sembilan. Lantas aku berpikir keras, siapa gerangan wanita itu. Kenapa dia sampai berani menginjakkan kakinya ke lantai tiga puluh enam? Di mana lantai ini sangat steril oleh orang-orang kantor yang tidak memiliki kepentingan mendesak untuk bertemu Om Frans.

Anak lapangan, batinku setelah menemukan jawabannya. Aku tersenyum puas. Tahu betul siapa yang harus kucurigai.
Aku buru-buru mengambil ponselku dan menelepon manager lantai sembilan. Beberapa nada sambung terdengar cukup lama sampai pada akhirnya, suara menjilat dari seberang sana terdengar menyapaku.

"Selamat pagi, Mr. Jonathan?"

"Pagi." Aku menekan panel lift sambil menelepon Pak Santo. "Siapa anak buahmu yang menyerahkan laporan proyek?" tanyaku tenang.

"Apakah laporannya belum sampai?"

"Sudah."

"Ahh, syukurlah. Dia Gianetta. Legal advisor nomor kubikel dua belas. Ada perlu apa, Mr. Jonathan?" tanya Pak Santo dengan suara menjilatnya. Aku paling benci orang-orang menjilat sepertinya.

"Bawa dia ke lapangan," perintahku tegas. Sebelum Pak Santo menjawab, aku sudah lebih dulu mematikan sambungan.

Sekarang masih pukul sembilan pagi. Waktuku masih tersisa sangat banyak untuk mempersiapkan sarapan bersama wanitaku. Sebelum aku membuangnya, aku akan membuatnya melambung tinggi di angkasa.
Sambil sedikit melonggarkan dasiku, aku masuk ke dalam lift menuju parkiran direksi. Sepertinya, aku punya rencana untuk wanita tadi.

• Meant To Be •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang