18.

16.4K 1K 115
                                    

Dalam tidurku aku mendengus keras saat kulit leherku terasa diciumi oleh Jonathan. Jam berapa ini? Sepertinya Jonathan tidak mau memberikan aku waktu untuk tidur barang sebentar saja.

"Minggir, Jo ...."

"Hm?"

"Aku mau tidur!"

"Tidurlah."

Aku berdecak, bagaimana aku bisa tidur kalau Jonathan terus saja menggangguku. Dengan tubuh telanjang dan selimut kamar yang berhasil dibawa Jonathan ke sofa ruangan tengah, aku dan Jonathan tiduran sambil berbagi tempat sempit. Tubuh kami menempel satu sama lain. Sama seperti kedua mataku yang kelopak matanya saling menempel, sangat mengantuk. Aku berusaha mendorong dada Jonathan yang basah oleh keringatnya sendiri, untuk menjauhiku. Tetapi karena aku berada di sisi pinggiran sofa, mendorong Jonathan justru membuatku mundur dan hampir terjungkal ke belakang.

"Berhenti, aku mau tidur," rengekku sambil menampar sebelah pipinya, bercanda.

"Tidurlah."

"Aku nggak bisa tidur kalau kamu ganggu aku terus ...."

Bisa kurasakan di ceruk leherku, Jonathan tersenyum sebelum kembali mencium bagian bawah telingaku. Tidak! Lelaki sialan itu tidak hanya menciumku! Sengatan itu terasa sangat familier membuat kedua mataku yang mengantuk langsung terbuka lebar, tidak jadi mengantuk.

"Jonathan!" desisku kesal. Dia memberikan kissmark tersembunyi di bagian bawah telingaku.

Ekspresinya polos. Dia hanya diam saja seperti anak kecil tidak tahu diri yang tidak mau meminta maaf setelah menggosongkan penggorengan Ibunya.

"Kamu buat kissmark?!" Kusentuh leher sampingku, mencari-cari di mana bagian yang basah tadi, bekas bibir tidak tahu diri milik Jonathan.

"Sexy, 'kan?"

Aku melotot. "Sexy gundulmu!" Kudongakkan kepalaku dan memerlihatkan kissmark sialan itu pada Jonathan. "Aku kayak wanita nakal kalau kayak gini, Jo!"

"Silly, bukannya memang nakal?" tanya Jonathan membuatku cemberut.

Setengah kesal aku mulai bersembunyi ke dalam selimut. Tidur sambil menghadap dada telanjang Jonathan yang berkeringat merupakan godaan terbesar malam ini. Tetapi entah kenapa, lelaki itu kemudian merengkuhku ke dalam pelukannya. Tidak lagi berniatan menggangguku. Jonathan justru merapatkan selimut untuk menutupi kami berdua. Dia merelakan sebelah lengannya untuk menjadi bantalku.

"Jo?"

"Hm."

"Sabun mandiku habis."

"Beli," gumam Jonathan serak. Kenapa dia?

"Lemari es dapur juga kosong." Pelan-pelan, kuberanikan diri untuk melingkarkan sebelah tanganku ke pinggang Jonathan di dalam selimut. Aku ingin sekali merasakan tidur sambil memeluknya. Apakah nyaman? Dan ternyata nyaman sekali saat tanganku sudah berhasil melingkar di pinggangnya. Jonathan sepertinya tidak sadar. Atau dia memang membiarkanku untuk berbuat semauku, malam ini saja. Tentu dalam hati aku meringis kegirangan.

"Aku butuh belanja," kataku akhirnya.

"Hm."

"Tapi aku nggak mungkin belanja sendirian."

"Hm."

Untuk beberapa saat aku menunggu, tidak ada jawaban lain dari Jonathan selain menggumam. Akhirnya aku mendongak. Menatap Jonathan yang sudah terpejam dengan bibirnya sedikit terbuka. Seksi sekali. Kenapa tidur dengan mulut terbuka seperti Jonathan bisa seseksi ini sedangkan kalau aku melihat orang lain yang tertidur seperti itu, akan sangat berbeda? Aku tersenyum melihatnya. Belum ada lima menit dia mengakhiri cumbuannya pada leherku, Jonathan sudah terlelap seperti itu.

• Meant To Be •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang