12.

14.7K 1K 70
                                    

"Aku nggak mau, Jo. Kita sebelum makan ke dokter, oke?"

"Obgyn harus booking, Dana—"

Kepalaku menggeleng cepat sambil duduk gelisah di jok samping Jonathan. Dia yang sedang fokus menyetir jadi melirik sekilas ke arahku. Terlihat aneh memang. Tetapi seharian kemarin aku sudah ketakutan kalau aku hamil. Jonathan masih tampak santai saja. Tetapi aku, aku sangat khawatir dan sama sekali tidak bisa fokus pada suatu hal.

"Kita ke dokter sekarang, oke?"

"We'll late to go back."

"Please ...." Aku menahan sebelah tangannya yang memegangi kemudi, lagi-lagi Jonathan melirikku aneh. Sebegitu parnonya aku untuk hamil, mungkin itu yang ada di pikirannya saat ini.

"Hm."

Aku menghembuskan napas lega setelah Jonathan mengiyakannya. Dia mulai memutar jalur untuk menuju ke rumah sakit terdekat. Menunda acara makan siang kami di sebuah restoran cepat saji seperti rencana awal tadi. Katakanlah bahwa aku memang belum siap untuk hamil. Aku tidak mungkin hamil anak Jonathan sedangkan dia sendiri tidak mau menikahiku. Lelaki macam apa dia, berpikiran santai saat wanita yang ditidurinya mengandung benihnya, tetapi sama sekali tidak mau bertanggung jawab secara ikatan pada si wanita.

Aku terus berusaha menenangkan kekhawatiran dalam hatiku. Semisal aku memang mengandung anak Jonathan, lalu aku harus apa? Mr. Frans tidak akan pernah diam untuk kasus yang satu ini. Tentu dia akan langsung memecatku tanpa perlu memanggilku lebih dulu ke ruangannya. Yang aku dapatkan sudah pasti selembar surat pecat yang tersimpan di atas meja kubikelku. Itu mengerikan. Lalu aku harus hidup bagaimana jika tidak ada Jonathan? Jika seandainya aku dan Jonathan berpisah, adakah kesempatan bagiku untuk hidup layak sementara aku membawa benih Jonathan dalam rahimku?

"Damn my life ...," keluhku sambil menutupi wajahku. Aku tahu Jonathan pasti menoleh menatapku bingung.

"Relax."

"Gimana aku bisa santai kalau haidku sendiri telat, Jo?"

"Sejak kapan?"

"S-sejak sebulan terakhir?" Keningku mengernyit berusaha mengingat kapan terakhir kali aku datang bulan. "Dua bulan terakhir?"

Jonathan hanya mencebik malas mendengar jawabanku. Dia mulai membelokkan mobil ke sebuah parkiran rumah sakit di daerah Bandung. Jantungku semakin berdetak liar. Vonis akan datang padaku dan aku berharap kalau rahimku kosong dari benih-benih Jonathan. Mesin mobil dimatikan tetapi Jonathan belum membuka lockdoor, membuatku menoleh padanya yang terlihat sedang berpikir.

"Let's talk," katanya, kemudian menatapku serius. "Ada dua kemungkinan. Hamil, dan tidak. I only have one question for you. Between those possibility, what do you want me to do."

"Tentu menikah."

Kepala Jonathan langsung menggeleng kecil sebagai penolakannya. Dia memang sudah menekankan soal itu sejak awal. Bahwa aku tidak boleh jatuh cinta kepadanya, dan tidak ada kata atau bahkan tuntutan menikah kepadanya. Easy, but it is hard for me.

"Lalu?"

"Gugurkan, atau lahirkan."

"Jangan sinting, Jonathan. Aku nggak mungkin gugurin anak kandungku sendiri. Terus yang kedua, kamu nggak bayangin gimana aku bakalan jadi single fighter??"

"Kita berdua, Dana."

"Jadi? Sama aja 'kan aku tetap seorang single fighter!" tegasku membuat Jonathan menghela napas berat.

"Terserah. Kartu AS-mu hanya satu, I'll do what you want except marry you. Dengan syarat kalau kamu hamil anakku."

Jonathan membuka lockdoor kemudian melepas seatbeltnya sendiri. Aku cemberut mendengar penjelasannya barusan. Kalau memang aku boleh meminta apapun padanya, menyuruhnya segala hal agar dia melakukannya untukku, aku hanya ingin dia menikahiku. Kalau memang tidak mau, jangan pernah berharap aku mau mengandung anaknya! Kenapa otaknya selalu sesempit itu? Seorang Jonathan Anderson benar-benar jatuh kualitasnya saat menghadapi wanita. His responsibility is big zero.

• Meant To Be •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang