13.

14.4K 1.1K 108
                                    

First, I will give you some question, readers! Dan kalian juga boleh bertanya apapun asal bukan bocoran cerita 😉

1. Keluh kesah kalian di cerita ini apa?

2. Kalian sudah klop belum sama Jonathan?

3. Pendapat kalian soal masing-masing tokoh gimana?

4. Series cerita yang ingin kalian baca setelah Meant To Be selesai, apa?
Tertarik dengan love story Noah Seva Anderson?
Atau, kalian tertarik yang lain?

Thank you before, for always be my loyal readers. I hope you always happy everyday like I'm happy when you read my story!
Thank you again!

•••

Melangkah pelan menyusuri koridor rumah sakit anak, aku dan Jonathan sempat beberapa kali menjadi buah bibir oleh beberapa perawat. Mungkin gosip saat Jonathan dan Marissa ribut sudah menyebar ke seluruh rumah sakit ini. Jadi saat kami berdua lewat, mereka tampak saling lirik dan saling bisik. Kurekatkan lingkaran tanganku pada lengan Jonathan. Jujur, aku malu jika dilirik sedemikian rupa. Tetapi Jonathan tampak santai. Biasa saja seperti dia hanya berjalan berdua bersamaku.

Hampir saja kami sampai depan pintu ruangan Keesha, pintu tersebut terbuka memunculkan Marissa yang menggendong tubuh lemas Keesha. Sebelah tangan Marissa juga membawa besi penyangga infuse. Untuk beberapa detik Marissa sedikit terkejut melihat kedatanganku dan Jonathan. Aku segera melepaskan lingkaran tanganku pada lengan Jonathan. Kedua tanganku mulai gemetaran karena rindu ingin memeluk Keesha.

Tanpa banyak bicara, Jonathan mengulurkan parsel buah pada Marissa. Wanita berambut panjang itu hanya melirik ke arah parsel tersebut dan menghela napasnya berat.

"Dana, aku mau ngomong sama Jonathan," kata Marissa ketus, tanpa menatapku. Dia bergerak salah tingkah membuatku bingung sendiri.

Aku langsung menerima Keesha yang sedikit terkejut saat dipindah ke gendonganku. Dia tidak menangis. Keesha lemas dan hanya menatap kosong pada benda-benda yang dilihatnya. Kulirik Jonathan yang juga melirikku sebentar sebelum mengikuti Marissa. Mereka berdua masuk ke dalam kamar inap Keesha dan tanpa basa-basi, Marissa menutup pintu ruangan tersebut. Meninggalkan aku dan Keesha yang ada di luar kamar inap. Aku hanya bisa menghela napas pelan. Kudorong besi penyangga infuse untuk sedikit minggir ke samping kursi besi yang berada di depan kamar inap. Aku memilih duduk di situ. Berusaha menidurkan Keesha yang masih pucat.

"Momomom," gumam Keesha pelan.

"Kenapa, sayang?"

Keesha hanya diam saja. Mungkin dia sangat lelah setelah menangis. Karena kulihat wajahnya memang sembab tadi. Seperti habis menangis sangat lama. Bahkan saat aku memeluknya, badannya masih terasa hangat. Kulihat di selang infusenya, ada sedikit darah yang bercampur dengan cairan infuse. Mungkin Keesha kesakitan saat dipasangi infuse lagi. Tangannya yang mungil itu jadi bergerak-gerak sampai mengakibatkan pendarahan sedikit.

Lama sekali, batinku saat Jonathan dan marissa tak kunjung keluar dari kamar Keesha. Memangnya mereka sedang membicarakan apa?

Tanpa perlu menggugah Keesha, aku bangkit dari dudukku. Merasa sedikit tidak sopan, aku memutuskan untuk sedikit mengintipi kamar inap Keesha. Tetapi bukannya tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Aku justru tahu apa yang sedang mereka lakukan. Tubuhku mematung, menegang bersamaan detak jantungku yang berdetak cepat hingga menyesakkan. Dari kotak kaca yang terdapat di pintu, kulihat Jonathan dan Marissa justru sedang berciuman. Aku langsung mengalihkan diri dan memilih untuk kembali duduk. Seluruh tubuhku gemetaran. Bahkan untuk menggigit bibir bawahku saja rasanya aku kurang kuat.

• Meant To Be •Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang