بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Dulu dia begitu terbuka. Mengatakan banyak hal dan curhat tentang masalah perasaan.
Tapi sekarang, di matanya aku orang asing.
Haruskah kusalahkan waktu? Karena dia yang telah membuatku jauh darinya~Sembunyi Rasa~
JaisiQ🌿🌿🌿
Kami sudah sampai di kantor Dispora. Dan sekarang, kami sedang ditanya-tanya oleh kepala bendahara. Ya, kami ditempatkan di bagian keuangan. Kami berenam duduk di kursi yang ada di ruangan itu, menghadap pembimbing dari pihak instansi.
Baru masuk, kok aku sudah tidak betah begini, ya? Habisnya, Pak Bambang---selaku kepala bendahara--- memiliki wajah yang cukup menyeramkan. Kumisnya tebal, badannya gemuk, dan tatapan matanya menusuk. Rasanya aku ingin masa prakerin ini segera berakhir. Lebih baik sekolah. Ah, aku sudah rindu teman-temanku. Aku tidak tahu apakah aku akan tahan praktek di sini di bawah naungan pak Bambang yang kelihatan garang atau tidak. Aku ingin ikut teman-temanku saja.
Pertanyaan pertama yang dilempar pak Bambang adalah nama. Dia menanyai satu per satu dari kami.
Dan kini giliran Arkan yang ditanya.
"Nama kamu siapa?"
"Arkan Sastra Kusuma, Pak."
"Sastra itu diambil dari mana?"
Bolehkah aku menyebut pak Bambang ini kepo?
"Keluarga saya semuanya pakai nama itu, Pak. Dari mulai ayah saya, dan kakak-kakak saya."
"Bungsu?"
Arkan menangguk.
"Biasanya anak bungsu itu manja. Kamu manja, ya?"
Kok jadi bertanya hal pribadi? Tapi Arkan masih terlihat santai.
"Arkan Sastra Kusuma...." Pak Bambang angguk-angguk kepala. Rika menaikkan sebelah bibirnya, kulihat dia seperti tidak suka dengan guru pembimbingnya itu. Sebab tadi juga ia ditanyai tentang hal pribadi. Bahkan sampai ke masalah keluarga. Pak Bambang bertanya apakah ibunya sudah menikah lagi atau belum. Ya, Rika itu anak yatim.
"Bukan Sastra Sunda, ya?" tanya pak Bambang pada Arkan.
Kami nyaris tertawa mendengar itu. Terutama aku, aku berupaya untuk tidak tersenyum. Entah mengapa, pertanyaan itu terdengar lucu dan membuatku ingat dengan sesuatu.
Dulu Arkan pernah curhat padaku. Namanya diledek oleh teman-temannya. Mereka melihat judul buku bahasa Sunda yaitu 'Sastra Sunda'. Kebetulan Arkan sedang bersama mereka. Mereka pun memanggil Arkan dengan sebutan 'Arkan Sastra Sunda'.
Aku menasehati Arkan untuk tidak mendengarkan ejekan itu, tapi Arkan tetap marah dan tidak terima. Dia tidak mau namanya diejek-ejek seperti itu. Sebab namanya itu pemberian dari orang tua.
"Bukan, Pak," jawab Arkan.
Pak Bambang mengangguk-anggukkan kepala.
Setelah berkenalan, kami diperintah untuk mengisi buku panduan prakerin. Sampai akhirnya guru pembimbing dari pihak sekolah datang.
Dia hanya mampir sebentar untuk basa-basi, menitipkan anak-anak didiknya kepada sang kepala bagian. Setelah itu dia memberi pesan pada kami agar kami bisa bekerja sama dengan baik dan betah, kemudian Pak Tata pamit pergi, meninggalkan kami.
Kami hanya duduk-duduk saja di sana tanpa bekerja. Tentu saja hal itu membuatku jenuh. Aku mengetuk-ngetukkan jari di meja. Bagaimana ini? Bagaimana kalau setiap hari kami diam seperti ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sembunyi Rasa √
أدب المراهقينSUDAH TERBIT Hub 089631354701 untuk info pemesanan "Lo seneng habis ditembak Haykal?" Aku bungkam. Lantas melirik ke samping. Arkan ternyata masih fokus dengan kertas-kertas di tangannya. Tapi tak lama kemudian, dia melirikku. Telak. Aku dan dia sal...