Empat

34 5 2
                                    

.
.
.
.

@GRAMEDIA

Aku dan Haruto menyusuri rak-rak yang penuh dengan buku-buku, sepertinya hanya aku yang tertarik untuk mengutak-atik buku di samping kiri kananku, sedangkan Haruto hanya mengikutiku tanpa tertarik pada banyaknya buku di tempat ini.
Aku memperhatikan jam dinding yang di letakkan di salah satu pilar. Dasar aneh, jam dinding, tapi di letakkan di pilar. Ternyata sudah lumayan lama kami berada di tempat ini, dan di tanganku pun sudah terkumpul buku-buku yang akan aku beli. Dan aku rasa Haruto sudah mulai bosan mengikutiku.

"Nona, kamu mau beli berapa buku sih? Di tangan kamu itu sudah banyak!"

Benar dugaanku, dia memang mulai bosan. Nada suaranya terdengar kesal.

"Kalau bisa semua buku di tempat ini aku beli," jawabku begitu sombong.

"Heran, manusia kok doyan buku," gumamnya yang masih dapat aku dengar.

"Susu saya," sahutku bodo amat.

"Haaaa? Susu?" ulangnya, pasti pikirannya kotor sekali.

"Suka-suka saya," jelasku agar otaknya tidak berpikir yang aneh-aneh.

"Ambigu sekali singkatannya." Dia kembali bergumam.

"Haruto!"

Aku dan Haruto refleks menoleh ke sumber suara.

"K–Kak Hanbin," ucap Haruto dengan wajah terkejut.

"Ya ampun, Dek, ini beneran kamu."

Orang yang dipanggil Haruto dengan nama Hanbin itu pun langsung memeluk Haruto.

"Ke mana saja kamu? Kakak nyariin kamu," ucapnya lagi dengan penuh rasa rindu.

Ini si Hanbin siapanya Haruto ya? Kenapa terlihat begitu akrab dan dia juga terlihat sangat merindukan Haruto. Wajah mereka juga mirip btw.

"Ayah sama Bunda juga rindu sama kamu, Dek."

Eh Ayah Bunda? Maksudnya orang tuanya Haruto?

Haruto langsung melepaskan pelukan Hanbin setelah Hanbin menyinggung tentang Ayah Bunda.

"Rindu? Kakak bilang mereka Rindu sama aku, gak salah? Mereka kan yang ngusir aku dari rumah," ucap Haruto ekspresinya berubah kesal.

Aduuuuh ini ada apa sebenarnya? Kenapa wajah Haruto menjadi sangat kesal seperti itu?

"Mereka gak sungguh-sungguh ngusir kamu, ayolah pulang. Kakak tuh gak mau punya adek kayak Bang Toyip yang gak pulang-pulang," pinta Hanbin. Heran juga sama Hanbin, di saat sedang serius bisa-bisanya dia mengeluarkan lelucon garing keriuk-keriuk seperti itu.

"Gak lucu, Kak!" sahut Haruto. Benar, lawakannya memang tidak lucu sama sekali.

"E'hm." Aku berdehem untuk menunjukkan eksitensiku kepada mereka, bahwa aku ada di antara mereka.

"Ruto, Dia siapa? Pacar kamu?" tebak Hanbin. Bukan main Kakak Hanbin ini kalau menebak, aku aminkan sajalah.

"Dia anaknya majikan aku, Kak," jawab Haruto begitu gamblang.

"Oh eh! Majikan? What is the maksud Majikan?" tanya Hanbin. Super sekali Kakak Hanbin ini, ternyata dia Alay.

"Kakak kira aku bisa hidup sampai sekarang hanya karena wajah tampan aku ini? Aku kerja, dan dia anak majikan aku," jelas Haruto menunjuk wajah tampannya.

Bisa tidak pedenya itu ditinggal dulu, Haruto?

"Kamu kerja di mana?" tanya Hanbin penasaran.

"Kakak gak perlu tau. Sekarang sebaiknya Kakak pulang dan gak usah bilang sama Ayah Bunda kalau Kakak ketemu aku," pinta Haruto, dia ceritnya mengancam, tapi mukanya lucu begitu.

"Ayok kita pulang, Nona." Haruto menarikku untuk meninggalkan Hanbin yang aku yakin masih dalam mode kebingungan.

.
.

"Haruto, tadi itu saudara kamu?" tanyaku setelah kami keluar dari Gramedia.

"Iya."

Singkat padat dan sangat jelas.

"Saudara atau tukang tagih hutang nih?" godaku agar tidak tegang-tegang amat.

"Ayolah, Nonaaaaa, aku sedang malas untuk bercanda," jawab Haruto dengan wajah merengut.

"Hehehe kita makan dulu yuk sebelum pulang, oke," usulku sekalian sebagai ucapan terima kasih kepada Haruto karena sudah mau menemaniku.

"Nona, aku gak lapar. Bisa kita pulang sekarang? Aku sudah capek," tolak Haruto. Wajahnya memang terlihat sangat lelah, lagi-lagi aku menjadi tidak tega.

"Iya-iya kita pulang." Aku menuruti keinginannya karena sebenarnya aku juga lelah.

.
.
.

Sesampainya di rumah, Haruto langsung nyelonong menuju kamarnya tanpa berkata sepatah kata pun kepadaku. Benar-benar tipe pembantu kurang ajar.

"Mama, Airin pulaaaaaang." Aku memberitahukan kedatanganku kepada seluruh penghuni di rumah ini.
Tak lama kemudian, Mama datang menghampiriku.

"Sendirian? Harutonya mana?" tanya Mama celingak-celinguk.

"Sudah masuk kamar, Ma."

"Tumben, biasanya salim dulu ke Mama," balas Mama keheranan.

"Capek katanya. Oh iya, Ma. Kemarin Mama ya yang nyuruh Haruto untuk membersihkan halaman belakang? Itu kan tugasnya Bejo, Ma," tanyaku menatap penuh curiga.

"Haaaa...? Enggak kok, Sayang. Mama gak ada nyuruh Haruto untuk membersihkan halaman belakang. Lagian ya, mana tega Mama nyuruh-nyuruh Haruto melakukan pekerjaan berat seperti itu," jawab Mama. Mama memang sesayang itu sih dengan Haruto.

Oh... berarti ini fix ulah nakal Bejo, awas kamu Bejooooo.

"Yaudah kalau gitu Airin ke kamar dulu ya, Ma," pamitku. Aku pun berlalu dari hadapan Mama.


T
B
C
Jangan lupa vote daaaaaaaaan komen 😘

Maid Kece✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang