1. Negatif

309 21 0
                                    

Klik vote dulu⭐

🌼🌼🌼

Ingar-bingar dunia begitu terasa di tempat bebas ini. Dentuman musik terdengar menggema di seluruh sudut ruangan, lampu disko tampak berkedap-kedip dan berubah warna setiap detik, aroma alkohol bercampur parfum menyeruak pekat di udara-membuat orang yang melampiaskan hasrat maupun penat di sini seolah tak sadarkan diri. Angan mereka semakin menyatu dengan segala kenikmatan dunia yang fana nan sesaat.

Sentuhan nakal yang tersembunyi, ciuman mesra di tengah keramaian, lenguhan sensual yang tertahan, atau sekadar wine yang diambil oleh seorang wanita penghibur bukan lagi pemandangan asing bagi gadis berwajah oriental khas Asia ini. Bahkan penampilan dia yang terbilang seksi-dress ketat selutut dan punggung terbuka-turut mengundang mata lelaki untuk fokus menatapnya. Mereka berdecak kagum, sesekali bersiul dan menggoda berharap mendapat perhatiannya. Namun, sayang, gadis itu tidak mengindahkan, gadis itu tidak memedulikan, ia tetap anggun berjalan.

"Ck. Ada masalah apa sampai kamu datang ke sini lagi, Mesa?"

Mesa mendengkus kasar saat kedatangannya disambut pertanyaan bernada tak habis pikir dari seorang bartender berumur 22 tahun.

"Kalau gak ada masalah juga gue bakal tetap ke sini. Lo tahu 'kan? Cuma tempat ini yang bisa bikin gue tenang," jawabnya lalu duduk di kursi, menghadap si lelaki berambut ikal yang dikuncir. "Gimana kabar lo, Bangbar? Dua hari gak ketemu kita."

"Aduh, Sa. Kenapa kamu jadi manggil saya 'Bangbar' terus sih?"

"Ya gue baru ngeh aja. Dari awal kenal, lo tetap jadi bartender di sini. Yaudin, Bangbar. Abang Bar. Hehe."

"Huh, dosa apa saya punya kenalan semacem kamu, Sa?"

Mesa hanya terkekeh geli. Namanya Doni, tapi sekarang Mesa lebih suka memanggil dengan sebutan 'Bangbar' alias Abang Bar. Sebab Doni merupakan pegawai tetap di klub malam ini, sudah tiga tahun dia bekerja sebagai bartender. Ah, ya. Sebagai pendengar setia rancauan cerita Mesa saat teler dimabuk alkohol juga.

"Malam ini gue cuma mau minum tiga gelas, ingetin gue ya Bang, kalo kelebihan."

"Iya. Bahkan seharusnya saya ingetin kamu biar gak minum."

"Abang yang baik," puji Mesa tertawa. Tangannya terulur untuk mengambil segelas minuman yang telah Doni sediakan. Mesa menempelkan bibirnya pada ujung gelas dan meneguk habis wine seolah air mineral yang sangat berguna bagi kesehatan.

Jika dulu, saat pertama kali Mesa mencicipi salah satu jenis alkohol: ia langsung menjauhkan gelas tersebut sambil memelet-meletkan lidahnya yang mencecap rasa pahit, tenggorokannya serasa ada sensasi dingin mengalir. Jika dulu: meski baru mencicip seteguk, ia merasakan lidahnya begitu ngilu dan mual hebat di perut, sebab belum pernah meminum minuman sepahit ini.

"Mesa," panggil Doni sedikit keras agar bisa didengar.

Gadis itu menaruh gelas ke dua yang isinya baru saja ia tandaskan. "Ada apa, Bang?"

Doni yang terhalang meja panjang mendekatkan wajahnya pada Mesa. Ia memandangnya prihatin, iba, dan kasihan-Mesa membencinya. "Kamu kapan mau berhenti datang ke klub malam dan berhenti minum minuman alkohol? Sudah tiga tahu lho, Sa."

"Lo kapan mau berhenti kerja di klub malam dan berhenti nyediain minuman alkohol untuk pelanggan?" tanya Mesa skak mat.

Bungkam. Doni tidak bisa menjawab, membuat seringai nakal tercetak jelas di wajah ayu Mesa. "Gue yakin jawaban lo pasti: gak tahu. Karena lo masih butuh uang untuk biaya kuliah dan biaya hidup lo! Dan cuma pekerjaan ini yang bisa ngasih lo uang, right?"

"Saya juga yakin, kalau jawaban kamu pasti sama: gak tahu. Karena kamu masih terus menjadikan tempat ini sebagai pelampiasan dari semua masalah kamu. Kamu masih menjadikan klub malam dan alkohol sebagai pelarian terbaik dari semua persoalan hidup kamu. Padahal masih ada tempat yang jauh lebih baik dari tempat hiburan ini. Masih ada Tuhan yang akan memeberikan jalan keluar untuk menyelesaikan setiap masalah kamu."

Mesa tidak mengindahkan semua perkataan Doni. Gadis itu bahkan tertawa kencang saat mendengar kalimat terakhir yang Doni ucapkan. Mesa meraih gelas ke lima dan berniat menghabiskannya dengan cepat.

"Sa, cukup! Kamu sudah banyak minum!"

"Apa peduli lo? Orangtua gue aja gak peduli!"

"Misa!" panggil seorang pria, menghampiri dua orang yang sedang berdialog tersebut. "Misa, kenapa kamu bisa berada di sini? Dan ... kamu lepas hijab?"

"Apa?" Mesa menyipitkan matanya untuk menatap pria di sebelah dia.

"Bang, lo kenal dia?" pertanyaan Mesa mendapat gelengan kepala dari Doni yang kini sedang melayani pelanggan lain.

"Saya Bian. Masa kamu lupa, Misa?" Lelaki berjas hitam itu mengernyit heran.

Gadis itu tertawa sarkas. "Haha. Nama gue Mesa! M-E-S-A! MESA!"

Bangke, kenapa orang yang gak gue kenal selalu manggil gue Misa? Hah ... si Misa famous ternyata. Mesa membatin sewot.

Laki-laki itu mengernyit. Ekspresi herannya kini berubah. "Kamu Mesa? Maaf, saya kira kamu Misa, wajahmu mirip sekali dengan dia."

"Gue kembarannya, Bodoh!" seru Mesa jengah. Ia memberikan beberapa lembaran uang di meja lalu berdiri. Mesa menatap Bian sinis. "Apa lo lihat-lihat?!"

Ck, gadis ini. "Saya baru tahu kalau Misa memiliki kembaran," ungkap dia lalu mengulurkan tangannya pada saudara Misa. "Dan, ya. Kenalkan, saya Bian. Bian Givano."

Mesa memutar bola matanya malas. Lelaki muda ini benar-benar sok akrab! Mesa tak suka. Ia segera menepis uluran tangan milik Bian. Semasa bodoh kalau Bian dibuat heran dengan kelakuannya. Mesa berniat pergi dari tempat bartender yang dipijaknya, lebih baik ia ikut berjoget untuk merilekskan pikiran.

"Mesa-"

"Stop! Gak usah SKSD lo!" teriak Mesa sedikit keras untuk mengalahkan dentuman musik DJ yang semakin malam semakin menggila.

"Lo siapanya Mesa?"

"Ah, bukan siapa-siapa."

Mengedikkan bahu. "Minum?" tawar Doni saat Bian duduk di tempat Mesa tadi.

Bian menggeleng sambil mengangkat telapak tangan kanannya, mengisyaratkan tidak.

Musik semakin terdengar kencang, membuat penikmat dunia malam menari sepuasnya. Mesa menggoyangkan pinggulnya ke kiri dan kanan. Membiarkan tubuhnya berjoget dan meliuk-liuk gemulai. Sesekali ia meloncat-loncat sesuai irama. Mengikuti intrupsi sang DJ untuk mengangkat salah satu tangannya dengan mata yang terus terpejam. Gadis itu benar-benar sudah tak waras!

Namun, biarlah. Ia ingin merasakan dunia kebebasan. Menikmati malam bersama angannya yang jauh melayang. Kenakalan Mesa memang tak perlu diragukan lagi. Ia sering pergi ke klub malam bersama teman-teman nakalnya-bahkan sendirian, minimal seminggu sekali. Hanya di tempat ini Mesa bisa melepas penat dan beban hidupnya yang terasa menekan hebat.

Dari kejauhan, Bian terus memperhatikan gadis itu. Gadis yang sedang menari sensual dan membiarkan tubuh proporsionalnya didekati oleh para lelaki bermata keranjang. Entah mengapa, ia merasa risih dengan pemandangan tersebut. Hatinya tak nyaman, ia serasa ingin melindungi Mesa.

Bian berdecak, ia bangkit tanpa mengalihkan pandangannya dari Mesa yang makin menggila. Dia tidak bisa membiarkannya. Segera Bian berjalan menuju segerombolan orang yang sedang berjoget. Setelah berada di sana, ia menarik lengan Mesa, membawanya sedikit menjauh dari zona terlarang.

Dear, Pelengkap ImanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang